Selasa, 29 Mei 2012

Syaikh Nawawi al-Bantani


Syaikh Nawawi al-Bantani (1)

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): 

Guru Para Ulama Indonesia

oleh: Dede Syamsul Ma'arif Al-bantany
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. 
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. 
Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. 
Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain jugaijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid(mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M. Bersambung ke bagian 2

Syaikh Nawawi al-Bantani (2-3)

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (2): Karya dan Karomahnya

oleh: Ust. H. Agus Zainal Arifin
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudulUqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. KitabNihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Bersambung ke bagian 3
  {Edit}

Syaikh Nawawi al-Bantani

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (3): Al-Ghazali Modern, bagian-1

oleh: Mamat Salamet Burhanuddin*
Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
bersambung ke bagian 4

Syaikh Nawawi al-Bantani (4)

Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (4-tammat): Al-Ghazali Modern, bagian-2

oleh: Mamat Salamet Burhanuddin* Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadahsehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten. TAMMAT


Biografi Para Ulama


Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari

SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI                                                                       
image0011.jpg
Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indoensia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama.  Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hinga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Agung Banjarmasin. Nama kitabnya yan lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad. Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai  keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Ijay itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh. 
Ulama yang memiliki nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman Al-Banjari itu ternyata memang bukan orang biasa. Ia adalah cicit Sayid Abu Bakar bin Sayid Abdullah Al-’Aidrus bin Sayid Abu Bakar As-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman As-Saqaf bin Sayid Muhammad Maula Dawilah Al-’Aidrus. Silisahnya kemudian sampai pada Sayidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah. Dengan demikian Syaikh Arsyad masih memiliki darah keturunan Rasulullah.
Abdullah tercatat sebagai pemimpin peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu melarikan diri bersama isterinya ke Lok Gabang (Martapura). Dalam riwayat lain menyebut bahwa apakah Sayid Abu Bakar As-Sakran atau Sayid Abu Bakar bin Sayid `Abdullah Al-’Aidrus yang dikatakan berasal dari Palembang itu kemudian pindah ke Johor, dan lalu pindah ke Brunei Darussalam, Sabah, dan Kepulauan Sulu, yang kemudian memiliki keturunan kalangan sultan di daerah itu. Yang jelas, para sultan itu masih memiliki tali temali hubungan dengan Syaikh Arsyad yang berinduk ke Hadramaut, Yaman. Bapaknya Abdullah merupakan seorang pemuda yang dikasihi sultan (Sultan Hamidullah atau Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah 1700-1734 M).
Bapaknya bukan asal orang Banjar,tetapi datang dari India mengembara untuk  menyebarkan Dakwah,Belia seorang ahli seni ukiran kayu. Semasa ibunya hamil,kedua Ibu Bapaknya sering berdo’a agar dapat melahirkan anak yang alim dan zuhud. Setelah lahir,Ibu Bapaknya mendidik dengan penuh kasih sayang setelah mendapat anak sulung yg dinanti-nantikan ini. Beliau dididik dengan dendangan Asmaul-Husna,disamping berdo’a kepada Allah.Setelah itu diberikan pendidikan al-qur’an kepadanya. Kemudian barulah menyusul kelahiran adik-adiknya yaitu ;  ’Abidin, Zainal abidin, Nurmein, Nurul Amein.
Muhammad Arsyad lahir di Banjarmasin pada hari Kamis dinihari, pukul 03.00 (waktu sahur), 15 Safar 1122 H atau 17 Maret 1710 M.
Semasa Kecil
Sejak kecil, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari Cergas dan Cerdas serta mempunyai akhlak yang baik dan terpuji. Kehebatan beliau sejak kecil ialah dalam bidang seni Lukis dan seni tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya akan merasa kagum dan terpukau.
Pada suatu hari, sultan mengadakan kunjungan kekampung-kampung, Pada saat baginda sampai kekampung lok Gabang, Baginda berkesempatan melihat hasil karya lukisan Muhammad Arsyad yang indah lagi memukau hati itu. justeru Sultan berhajat untuk memelihara dan mendidik Muhammad Arsyad yang tatkala itu baru berusia 7 tahun.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian beliau dikawinkan dengan seorang perempuan yang soleha bernam Tuan Bajut, Hasil perkawinan beliau memperoleh seorang putri yang diberinam Syarifah.
Beliau telah meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekah selama 30 tahun dan Madinah selama 5 tahun. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh sultan.

Penulisan

Tradisi kebanyakan ulama, ketika mereka belajar dan mengajar di Mekah, sekali gus menulis kitab di Mekah juga. Lain halnya dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari, walaupun dipercayai bahawa beliau juga pernah mengajar di Mekah, namun karya yang dihasilkannya ditulis di Banjar sendiri. Lagi pula nampaknya beliau lebih mencurahkan khidmat derma baktinya di tempat kelahirannya sendiri yang seolah-olah tanggungjawab rakyat Banjar terbeban di bahunya. Ketika mulai pulang ke Banjar, sememangnya beliau sangat sibuk mengajar dan menyusun segala macam bidang yang bersangkut-paut dengan dakwah, pendidikan dan pentadbiran Islam. Walaupun begitu beliau masih sempat menghasilkan beberapa buah karangan.
Karya-karya Syeikh Arsyad banyak ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau Jawi yang memang diperuntukkan untuk bangsanya. Meskipuin ia memiliki kemampuan menulis berbagai kitab dalam bahasa Arab, tapi, ia lebih suka menuliskannya dalam bahasa Jawi. Ia mengajarkan kitab-kitab semacam Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali kepada para muridnya.
Karangannya yang sempat dicatat adalah seperti berikut di bawah ini:
  1. Tuhfah ar-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduhu Riddah ar-Murtaddin, diselesaikan tahun 1188 H/1774 M
  2. Luqtah al-’Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H/1778 M.
  3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diseselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H/1780 M
  4. Risalah Qaul al-Mukhtashar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiulawal 1196 H/1781 M.
  5. Kitab Bab an-Nikah.
  6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
  7. Kanzu al-Ma’rifah
  8. Ushul ad-Din
  9. Kitab al-Faraid
  10. Hasyiyah Fat-h al-Wahhab
  11. Mushhaf al-Quran al-Karim
  12. Fat-h ar-Rahman
  13. Arkanu Ta’lim as-Shibyan
  14. Bulugh al-Maram
  15. Fi Bayani Qadha’ wa al-Qadar wa al-Waba’
  16. Tuhfah al-Ahbab
  17. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna. Kitab ini dikumpulkan semula oleh keturunannya, Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura, tanpa dinyatakan tarikh cetak.
Ada pun karyanya yang pertama, iaitu Tuhfah ar-Raghibin, kitab ini sudah jelas atau pasti karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari bukan karya Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani seperti yang disebut oleh Dr. M. Chatib Quzwain dalam bukunya, Mengenal Allah Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syeikh Abdus Samad AI-Falimbani, yang berasal daripada pendapat P. Voorhoeve. Pendapat yang keliru itu telah saya bantah dalam buku Syeikh Muhammad Arsyad (l990). Dasar saya adalah bukti-bukti sebagai yang berikut:
  1. Tulisan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, “Maka disebut oleh yang empunya karangan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imanil Mu’minin bagi `Alim al-Fadhil al-’Allamah Syeikh Muhammad Arsyad.”
  2. Tulisan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, “Maka mengarang Maulana (maksudnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pen:) itu beberapa kitab dengan bahasa Melayu dengan isyarat sultan yang tersebut, seperti Tuhfatur Raghibin …” Pada halaman lain, “Maka Sultan Tahmidullah Tsani ini, ialah yang disebut oleh orang Penembahan Batu. Dan ialah yang minta karangkan Sabilul Muhtadin lil Mutafaqqihi fi Amrid Din dan Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqati Imani Mu’minin wa Riddatil Murtaddin dan lainnya kepada jaddi (Maksudnya: datukku, pen :) al-’Alim al-’Allamah al-’Arif Billah asy-Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari.”
  3. Pada cetakan Istanbul, yang kemudian dicetak kembali oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, Singapura tahun 1347 H, iaitu cetakan kedua dinyatakan, “Tuhfatur Raghibin … ta’lif al-’Alim al-’Allamah asy-Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.” Di bawahnya tertulis, “Telah ditashhihkan risalah oleh seorang daripada zuriat muallifnya, iaitu `Abdur Rahman Shiddiq bin Muhammad `Afif mengikut bagi khat muallifnya sendiri …”. Di bawahnya lagi tertulis, “Ini kitab sudah cap dari negeri Istanbul fi Mathba’ah al-Haji Muharram Afandi”.
  4. Terakhir sekali Mahmud bin Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mencetak kitab Tuhfah ar-Raghibin itu disebutnya cetakan yang ketiga, nama Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari tetap dikekalkan sebagai pengarangnya.
Daripada bukti-bukti di atas, terutama yang bersumber daripada Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani dan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq adalah cukup kuat untuk dipegang kerana kedua-duanya ada hubungan dekat dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari itu. Syeikh Daud bin `Abdullah al-Fathani adalah sahabat Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari sedangkan Syeikh `Abdur Rahman Shiddiq pula adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari. Mengenai karya-karya Syeikh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari yang tersebut dalam senarai, insya-Allah akan dibicarakan pada kesempatan yang lain.
  Masih banyak lagi tulisan dan catatan syaikh yang disimpan kalangan muridnya yang kemudian diterbitkan di Istambul (Turki), Mesir, Arab Saudi, Mumbai (Bombai), Singapura, dan kemudian Jakarta Surabaya, dan Cirebon. Di samping itu beliau menulis satu naskah al Quranul Karim tulisan tentang beliau sedikit, yang sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.
Keturunan
Zurriyaat (anak dan cucu) beliau banyak sekali yang menjadi ulama besar, pemimpin-pemimpin, yang semuanya teguh menganut Madzhab Syafi’i sebagai yang di wariskan oleh Syeikh Muhammad Arsyad Banjar.
Diantara zurriyat beliau yang kemudian menjadi ulama besar turun temurun adalah :
l . H. Jamaluddin, Mufti, anak kandung, penulis kitab “perukunan Jamaluddin”.
2. H. Yusein, anak kandung, penulis kitab “Hidayatul Mutafakkiriin”.
3. H. Fathimah binti Arsyad, anak kandung, penulis kitab “Perukunan Besar”, tetapi namanya tidak ditulis dalam kitab itu.
4. H. Abu Sa’ud, Qadhi.
5. H. Abu Naim, Qadhi.
6. H. Ahmad, Mufti.
7. H. Syahabuddin, Mufti.
8. H.M. Thaib, Qadhi.
9. H. As’ad, Mufti.
10. H. Jamaluddin II., Mufti.
11. H. Abdurrahman Sidiq, Mufti Kerajaan Indragiri Sapat (Riau), pengarang kitab “Risalah amal Ma’rifat”, “Asranus Salah”, “Syair Qiyamat”, “Sejarah Arsyadiyah” dan lain lain.
12. H.M. Thaib bin Mas’ud bin H. Abu Saud, ulama Kedah, Malaysia, pengarang kitab “Miftahul jannah”.
13. H. Thohah Qadhi-Qudhat, penbina Madrasah “Sulamul ‘ulum’, Dalam Pagar Martapura.
14. H.M. Ali Junaedi, Qadhi.
15. Gunr H. Zainal Ilmi.
16. H. Ahmad Zainal Aqli, Imam Tentara.
17. H.M. Nawawi, Mufti.
18. Dan lain-lain banyak lagi.

Semuanya yang tersebut di atas adalah zurriyat-zurrivat Syeikh Arsyad yang menjadi ulama dan sudah berpulang ke rahmatullah.
Sebagai kami katakan di atas, Syeikh Mubammad Arsyad bin Al Banjari dan sesudah beliau, zurriyat-zariyat beliau adalah penegak-penegak Madzhab Syafi’i dan faham Ahlussunna,h wal Jama’ah, khususnya di Kalimantan.

Syaikh Arsyad wafat pada 6 Syawal 1227 H atau 3 Oktober 1812 M. Beliau meninggal dunia pada usia 105 tahun dengan meninggalkan sumbangan yang besar terhadap masyarakat islam di Nusantara.
Makamnya dianggap keramat dan hingga kini masih diziarahi orang. Haulnya pada Syawwal lalu dihadiri Menteri Agama RI H. Muhamamd Maftuch Basyuni bersama ribuan masyarakat, termasuk dari Malaysia, Sumatera, dan Jawa.
Mudah-mudahan Allah menurunkan rahmat kepada keluarga mereka dan kita semuanya, amin-amin.

Datuk H.Ahmad Ulama Brunai Darussalam

{ Juli 5, 2007 @ 7:00 am } · { ulama banjar } 


Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH[WAN Mohd.
Shaghir semasa membentangkan kertas kerja pada Seminar Bahan Rujukan Islam Nusantara di Brunei pada Ogos 2001. --- gambar tidak disiarkan --waqaf.net]
SETELAH genap 100 ulama diperkenalkan dalam ruangan Agama Utusan Malaysia, ulama yang ke-101 ditampilkan dalam artikel ini. Beliau berasal dari Banjarmasin, Indonesia tetapi menjalankan aktivitinya di Brunei Darussalam. Sangat sedikit penyelidikan yang dapat saya lakukan di Brunei, namun dalam dua kali saya mengikuti seminar sebagai pembentang kertas kerja iaitu pada 20-23 November 1995 dan 20-23 Ogos 2001, saya berhasil mengumpulkan riwayat beberapa orang ulama Brunei.
Kebanyakan riwayat adalah hasil wawancara bersama beberapa orang. Secara langsung saya juga berkesempatan pergi ke tempat-tempat yang bersejarah dan tidak dapat diketepikan melalui kajian beberapa buah buku yang diterbitkan di Brunei Darussalam. Kepada semua pihak di Brunei Darussalam yang telah menyumbang bahan-bahan yang sangat berharga, melalui mukadimah artikel ini dan artikel-artikel mengenai ulama Brunei Darussalam berikutnya, saya ucapkan ribuan terima kasih.
Sebelum memperkatakan ulama yang disebut dalam judul artikel ini, saya telah memperkenalkan beberapa ulama Brunei peringkat awal yang dimuatkan dalam buku Penyebaran Islam dan Salasilah Ulama Sejagat Dunia Melayu jilid ke-4. Mereka yang telah didokumenkan ialah Syarif Ali, Syarif Mufaqqih al-Muqaddam, Syeikh Adam, Sulaiman Abdur Rahman dan Saiyid Abu Bakar.
Saiyid Abu Bakar adalah datuk kepada Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Dipercayai ulama Banjar yang sedang diriwayatkan ini ada hubungan dengan Saiyid Abu Bakar yang disebut itu.
Mengenai ulama yang berasal dari Banjar yang berhijrah ke Brunei, secara sepintas lalu pernah saya sentuh dan muatkan dalam buku berjudul Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, cetakan Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur pada 1990.
Beberapa penulis yang berasal dari Brunei menyebut nama ulama yang berasal dari Banjar ini ialah Datuk Haji Ahmad bin Haji Abdul Lathif. Nama popularnya di Brunei Datuk Haji Ahmad Banjar saja. Beliau dilahirkan di Banjarmasin, Kalimantan, selatan Indonesia.
Tarikh lahirnya belum diketahui tetapi beliau dilahirkan dalam keadaan menyalahi adat kebiasaan. Ketika ibunya, Dayang Seri Banun (sebutan di Banjar) atau Dayang Serbanun (sebutan di Brunei) meninggal dunia, anaknya masih dalam kandungan. Lazimnya manakala ibu meninggal dunia bererti anak dalam kandungan turut meninggal dunia, tetapi keajaiban telah berlaku. Beberapa bulan kemudian kedengaran suara menangis dari kubur ibu tersebut. Setelah kubur digali ternyata didapati bayi masih hidup.
Seluruh tubuhnya dalam keadaan utuh kecuali hanya sebelah tangannya dimakan ulat bersama-sama mayat ibunya. Semua yang berlaku demikian adalah dengan �kudrat, iradat dan ilmu Allah� semata-mata, dan di luar daripada kemampuan manusia memikirkannya. Sesuatu yang menyalahi kejadian, menurut lazimnya dalam ilmu akidah, dinamakan �khariqul adah�. Sebaliknya jika seperti biasa saja dinamakan �sunnatullah�.

Asal usul

Pada zaman dulu hampir-hampir tidak ada ulama besar yang berasal dari Banjar yang terlepas daripada kaitan dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, penyusun Sabil al-Muhtadin, yang sangat masyhur itu. Kaitan yang saya maksudkan di sini adakalanya perhubungan nasab dan adakalanya perhubungan keilmuan. Bahkan sebahagian besar kedua-duanya sekali.
Berdasarkan perjalanan sejarah dan cerita daripada pelbagai sumber, Datuk Haji Ahmad Banjar yang berhijrah ke Brunei sebagai penyebar Islam juga tidak terlepas daripada perhubungan itu. Sebelum datang ke Brunei beliau terlebih dulu telah memperoleh aliran ilmu Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang turun kepada beberapa orang anak beliau. Datuk Haji Ahmad Banjar hanyalah sezaman dengan cucu-cucu ulama besar Banjar itu. Kemantapan dilanjutkan di Mekah. Beliau berguru dengan ramai ulama, antaranya Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Ghaffar as-Sambasi.
Oleh kerana Datuk Haji Ahmad Banjar adalah salah seorang murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas, bererti kita dapat menulis sejarah yang agak panjang, lengkap, dan tahun-tahun aktiviti ulama Banjar itu berdasarkan banyak perbandingan. Barangkali sebelum ke Brunei, beliau telah diakui sebagai ulama besar di Banjar. Berdasarkan Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri, tulisannya menyebut nama lengkapnya diawali dengan “Al-Alim Al-Allamah”.
Jika kita membicarakan murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang paling terkenal ia cukup ramai. Antaranya Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230H/1814M, wafat 1314H/1896M), tetapi dalam artikel ini hanyalah dipilih yang ada hubungannya dalam persekitaran Borneo/Kalimantan. Salah seorang murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang berasal dari Sarawak bernama Haji Abdul Lathif bin Haji Abdul Qadir Sarawak. Nama ini serupa nama dengan ayah Datuk Haji Ahmad Banjar, kemungkinan juga ayah beliau. Tetapi tidak dapat dipastikan kerana nama datuk pada Datuk Haji Ahmad Banjar belum diketahui. Haji Abdul Lathif pernah merantau ke Pontianak dan Banjar kerana menyebarkan Islam melalui ajaran Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah Syeikh Ahmad Khathib as-Sambasi.
Oleh sebab kedua-duanya sama-sama belajar dengan Syeikh Ahmad Khathib Sambas, riwayat yang pasti bererti kedua-duanya adalah bersahabat. Murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang berasal dari Borneo/Kalimantan pula ialah Syeikh Nuruddin Tekarang. Ulama ini berasal dari selatan Filipina. Selepas belajar di Mekah dia pulang ke Sambas. Kuburnya terletak di Kampung Tekarang, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas.
Muridnya Syeikh Muhammad Sa`ad daripada keturunan Sambas asli, kuburnya terletak di Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas. Semua ulama yang berasal dari Borneo/Kalimantan tersebut adalah ikhwan (persaudaraan) Datuk Haji Ahmad Banjar dalam Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah Syeikh Ahmad Khathib as-Sambasi. Riwayat yang diperoleh dari Brunei pula menyatakan Datuk Haji Ahmad Banjar bersahabat dengan ulama Brunei, Pangiran Abdul Momin bin Pangiran Sabtu (wafat 1298H/1880M). Beliau ini berasal dari Kampung Bakut Siraja Muda.
Sebagaimana pernah saya riwayatkan dalam beberapa tulisan sebelum ini, Syeikh Ahmad Khathib Sambas adalah termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam pelbagai bidang ilmu kecuali Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Tarekat itu diterima oleh Syeikh Ahmad Khathib Sambas daripada Syeikh Syamsuddin.
Daripada kenyataan ini bererti sanad atau salasilah keilmuan pelbagai bidang ilmu Datuk Haji Ahmad Banjar melalui Syeikh Ahmad Khathib Sambas naik kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani hingga naik kepada yang lebih atas daripadanya. Sanad atau salasilah ini pula dalam beberapa disiplin ilmu adalah sama dengan sanad atau salasilah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.
Selain dipastikan bahawa Datuk Haji Ahmad Banjar adalah murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas, diriwayatkan pula ketika di Mekah beliau telah belajar daripada beberapa ulama Arab yang terkenal pada zaman itu, antaranya Syeikh Utsman ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan lain-lain.
Daripada riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahawa sama ada ilmu-ilmu yang melalui Syeikh Ahmad Khathib Sambas mahupun ilmu-ilmu yang melalui ulama-ulama Arab, semuanya adalah dalam ilmu yang dianggap selamat dari kaca mata penilaian ulama tradisional. Yang saya maksudkan di sini ialah bahawa dalam akidah tetap berpegang kepada Ahli Sunah Wal Jamaah menurut metod Imam Abu Hasan al-Asy�ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Tentang fikah tetap mengikut satu mazhab saja, iaitu Mazhab Syafie. Tentang tasawuf tetap berpedoman dan berpegang teguh dengan kitab-kitab turas tasawuf seperti karangan-karangan Imam al-Ghazali. Demikian juga pegangan tentang amalan, secara rutin tiada sekali-kali ditinggalkan amalan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang beliau terima langsung daripada gurunya Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang sangat terkenal itu.

Pemerintahan

Tahun kedatangan Datuk Haji Ahmad Banjar di Brunei belum diketahui dengan pasti. Diriwayatkan bahawa beliau berhijrah ke Brunei pada zaman pemerintahan Sultan Brunei yang ke-24, ialah Sultan Abdul Momin yang memerintah dari tahun 1852-1885. Datuk Haji Ahmad Banjar tinggal di Kampung Burung Pingai Ayer dan di sanalah beliau menjalankan aktiviti penyebaran Islam melalui pendidikan dan dakwah.
Murid-murid beliau datang dari beberapa kampung dalam Brunei, kebanyakannya datang dari Kampung Burung Pingai, Kampung Burung Tekuruk, Kampung Lorong Dalam dan lain-lain.
Dipercayai ilmu-ilmu yang diajarkan ialah penekanan tentang fardu ain, terutama akidah, fikah Mazhab Syafie, dan tasawuf. Ilmu fardu ain yang terpenting pula ialah praktik tajwid terutama dalam bacaan al-Fatihah yang wajib dibaca dalam sembahyang. Oleh sebab Datuk Haji Ahmad Banjar termasuk salah seorang �Khalifah Mursyid Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah�, sekali gus beliau juga telah membaiah dan mentawajjuhkan tarekat tersebut kepada beberapa muridnya. Antara mereka yang menerima tarekat itu ialah Pehin Datu Imam Haji Mokti bin Haji Nasar.
Selain kegiatan penyebaran ilmu-ilmu Islam, Datuk Haji Ahmad Banjar juga dilantik sebagai Pengawas Perkembangan Agama Islam di Brunei Darussalam. Selain itu, beliau juga pernah menjadi Kadi. Sungguhpun demikian, kemungkinan kerana waraknya, Datuk Haji Ahmad Banjar pernah menolak penganugerahan gelaran Datuk Seri Maharaja.
Oleh sebab ada hubungan pertalian kekeluargaan dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, salah seorang cucu ulama Banjari ini ialah Haji Thasin bin Mufti Jamaluddin al-Banjari yang pergi ke Brunei dan berkahwin dengan anak Datuk Haji Ahmad Banjar yang bernama Aminah.
Hasil perkahwinan itu, mereka memperoleh anak bernama Haji Ramli. Haji Thasin bin Mufti Jamaluddin al-Banjari selain berkahwin di Brunei juga pernah bernikah di Pontianak, memperoleh beberapa orang anak. Antaranya Haji Yusuf Saigon dan Haji Muhammad Arsyad. Kedua-dua anak Haji Thasin yang di Pontianak ini adalah adik-beradik satu ayah dengan Haji Ramli di Brunei Darussalam. Walau bagaimanapun, saya masih belum dapat mengesan keturunan Haji Ramli bin Haji Thasin di Brunei.

Tuan Hussain Muhammad Nasir al-Mas’udi al-Banjar

{ Juli 4, 2007 @ 8:21 am } · { ulama banjar } 

Kenali Ulama’ Kita – Siri 1
Tuan Guru Tuan Hussain Muhammad Nasir al-Mas’udi al-Banjari رحمه الله تعالى

Gambar asy-Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Tuan Guru Tuan Hussin Kedah dan Tuan Guru Haji Ahmad bin Tuan Hussin

Abu Abdullah Hussin bin Muhammad Nasir bin Muhammad Thayyib bin Mas’ud bin Qadhi Abu Su’ud bin Syaikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dilahirkan pada hari Ahad 20 Jumadil Awwal 1280H bersamaan 2 November 1863 di Titi Gajah, Kedah. Nama timangan sewaktu kecilnya adalah Che Megat. Gelaran Megat diperolehi kerana ayah beliau Haji Muhammad. Nasir, seorang kebanyakan telah berkahwin dengan Tengku Fathimah binti Tengku Mahmud, seorang kerabat Diraja Kubang Pasu, Darul Qiyam. Kemudiannya beliau mashyur dengan nama Tuan Guru Tuan Hussin Kedah.Keturunan Tuan Hussin Kedah adalah berasal dari Kelompoyan Martapura Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia. Dan beliau adalah dari keturunan seorang ulama yang sangat tersohor di Nusantara iaituSyaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, pengarang kitab Sabil al-Muhtadin. Sejarah kedatangan keturunan beliau ke Kedah adalah apabila datuk kepada datuknya yang bernama Qadhi Haji Abu Su’ud diceritakan bahawa beliau pulang dari Makkah untuk meneruskan perjalanannya pulang ke Banjar telah singgah di Kedah. Apabila sultan Kedah mendapat tahu kehadiran ulama Banjar ini maka baginda Sultan Kedah telah meminta kepadanya supaya tinggal di Kedah untuk menjadi guru baginda dan juga rakyat Kedah.Di Kedah Qadhi Haji Abu Su’ud al-Banjari atas kehendak Sultan Kedah telah kahwin dengan perempuan bernama Rajmah. Dari perkahwinan itu memperoleh anak dinamakan Mas’ud, iaitu moyang kepada Tuan Hussin Kedah.

Moyang kepada Tuan Hussin Kedah ini iaitu Haji Mas’udbin Qadhi Abu Su’ud selain menjadi ulama di Kedah, beliau juga dilantik oleh Sultan Kedah, menjadi salah seorang panglima perang kerajaan Kedah ketika menentang kerajaan Thai (Siam Budha). Dan beliau gugur sebagai syahid ketika peperangan menentang Thai.Pendidikan dan Membuka Pondok
Tuan Hussin Kedah mendapat didikan awal dari datuknyaHaji Muhammad Thayyib bin Mus’ud al-Khalidi an-Naqsyabandi dipondok Titi Gajah. (Insyaallah, tulisan mengenai tokoh ini akan paparkan keblog ini nanti). Seterusnya beliau menyambung pelajarannya di di Pondok Bendang Daya, Fathani. Beliau sempat belajar dengan Tuan Guru Syaikh Haji Wan Mushthafa bin Muhammad al-Fathani (Tok Bendang Daya I) dan selanjutnya kepada anak beliau, Syaikh Abdul Qadir bin Syaikh Wan Mushthafa (Tok Bendang Daya II). Ketika di Bendang Daya dipercayai beliau bersahabat dengan Wan Ismail bin Mushthafa al-Fathani (Tok Ayah Doi – pengasas pondok Gajah Mati, Kedah) dan Tok Kelaba. Selain di Bendang Daya, Tuan Husein Kedah juga pernah belajar di Pondok Semela, pondok dimana datuknya pernah menuntut ilmu. Tuan Hussain Kedah telah merantau ke Kelantan, Terengganu, Singapura, Johor dan Perak untuk mendalami ilmu agama. Setelah lama di perantauan mencari ilmu, beliau kembali ke Titi Gajah dengan niat untuk membantu datuknya mengajar.Memang sudah menjadi tradisi pada zaman tersebut, tidak lengkap ilmu seseorang sekiranya tidak melanjutkan pelajaran ke Mekah, yang merupakan pusat ilmu ketika itu. Maka pada tahun 1892, beliau berangkat ke Mekah bersama isterinya iaitu Wan Khadijah binti Wan Yusuf untuk mengerjakan haji dan menambahkan pengetahuan agamanya. Ketika di Mekah beliau sempat berjumpa dan berguru dengan ulama-ulama besar disana seperti Syaikh Abdul Qadir bin Abdur Rahman al-Fathani, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Ahmad Umar Bali, Syaikh Ahmad Lingga, Syaikh Wan Ahmad al-Fathani dan ramai lagi.
Apabila Tuan Hussain pulang dari Mekah pada tahun 1896M, beliau meneruskan pengajarannya di pondok Titi Gajah dan pada waktu yang sama beliau ditawarkan untuk membuka pondok di kampung Alor Ganu, sebuah perkampungan yang berhampiran. Beliau menerima tawaran tersebut dan mengajar di sana selama tiga tahun.Pada tahun 1900, beliau berpindah Bohor dan membuka pondoknya di sana. pelajar-pelajar lelaki dan perempuan di pondok Bohor berumur antara 15 hingga 60 tahun. Terdapat dua kumpulan pondok iaitu Pondok Dalam di mana disediakan untuk orang yang sudah berkeluarga dan Pondok Luar untuk anak-anak bujang. Tuan Hussin mengendalikan pondoknya di Bohor selama 12 tahun sehingga beliau terkenal dengan panggilan “Tuan Hussain Bohor”.
Pada tahun 1912, Tuan Hussin berpindah pula ke Bagan Ulu dan membuka pondok di situ. Tempat ini sekarang dikenali sebagai Pantai Merdeka. Pelajar-pelajarnya berjumlah lebih 400 orang. Antara pelajar-pelajarnya yang terkenal ialah Dato’ Haji Abdul Rahman bin Haji Abdullah atau lebih dikenali sebagai Tuan Guru Haji Abdul Rahman Merbok (gambar sebelah). Tuan Hussin mentadbir pondok Bagan Ulu selama 8 tahun sebelum membuka pondok baru di Selengkoh, Mukim Sungai Limau. Keadaan persekitaran di Selengkoh yang becak mengurangkan penuntut Tuan Hussin. Beliau berkhidmat di sana selama 4 tahun dan kemudiannya berangkat mengerjakan fardhu haji bersama anak dan cucu-cucunya.Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1924M telah memberi ilham kepada Tuan Hussin untuk membuka pondok baru pula di Padang Lumat. Dan seterusnya beliau membuka pondok di Pokok Sena, Seberang Perai pada akhir tahun 1929M. Tuan Hussin Kedah adalah seorang ulama yang wara’ dan rajin beribadah. Sering membawa tongkat ketika berjalan Beliau bertariqat Syattariah. Beliau adalah seorang tuan guru pondok yang tegas. Pelajarnya tidak dibenarkan merokok dan berambut panjang. Tuan Hussin Kedah adalah seorang ulama besar yang sangat gigih dalam perjuangan menggunakan kalam (perkataan) dan qalam (pena/penulisan) demi penyebaran ilmu pengetahuan Islam. Dalam kesibukan mengajar, beliau masih sempat untuk menulis kitab untuk diwariskan kepada generasi seterusnya. Antara kitab-kitab tulisannya adalah:-

  • an-Nurul Mustafid fi Aqaidi Ahlit Tauhid, diselesaikan pada tahun 1305H/1888M. Kandungannya membicarakan tentang tauhid, akidah Ahlis Sunnah wal Jamaah. Kitab ini adalah kitab pertama yang beliau karang.
  • Tamrinush Shibyan fi Bayani Arkanil Islam wal Iman, diselesaikan pada hari Sabtu, 1 Syaaban 1318H. Menggunakan nama Husein Nashir bin Muhammad Thaiyib al-Mas’udi al-Banjari. Kandungannya membicarakan tauhid, akidah Ahlis Sunnah wal Jamaah dinyatakan rujukannya ialah Ummul Barahin, Syarah Hudhudi, karya as-Suhaimi, Hasyiyah Syarqawi dan Dhiyaul Murid. Dicetak oleh Mathba’ah Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, Mesir, Zulkaedah 1346H, ditashhih oleh Ilyas Ya’qub al-Azhari.
  • Hidayatus Shibyan fi Ma’rifatil Islam wal Iman, menggunakan nama Abi Abdullah Husein Nashir bin Muhammad Thaiyib al-Mas’udi al-Banjari. Diselesaikan pada hari Isnin, 18 Muharam 1330H. Kandungannya membicarakan tentang tauhid dan fekah. Cetakan yang pertama Mathba’ah At-Taraqqil Majidiyah al-’Utsmaniyah 1330H. Dicetak pula oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, 1345H/1927H. Ditashhih oleh Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani.
  • Kisarul Aksir lish Shaghir `indal Kabir li Ma’rifatillahil `Alimil Khabir, diselesaikan pada hari Khamis, 25 Rabiulakhir 1336H. Kandungannya membicarakan tentang tasauf dan thariqat. Cetakan yang ketiga, Al-Huda Press, Pulau Pinang, Safar 1356H/April 1937M.
  • Hidayatul Athfal, diselesaikan pada 1336H. Kandungannya pelajaran tauhid untuk kanak-kanak.
  • Hidayatul Mutafakkirin fi Tahqiqi Ma’rifati Rabbil `Alamin, diselesaikan pada 3 Rabiulakhir 1337H. Kandungannya membicarakan tentang tauhid, menurut akidah Ahli Sunnah wal Jamaah. Cetakan yang pertama Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, 1345H/1927M. Cetakan yang kelima, Mathba’ah Persama, 83-85, Achen Street, dekat Masjid Melayu, Pulau Pinang, 1377H/1957M.
  • Tafrihus Shibyan fi Maulidin Nabi min Waladi `Adnan, diselesaikan pada hari Selasa 3 Rabiulawal 1341H. Kandungannya mengenai sejarah kelahiran Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم Dicetak oleh Mathba’ah Persama, 83-85, Acheh Street, dekat Masjid Melayu, Pulau Pinang, 1382H/1962M.
  • Tazkiru Qabailil Qadhi, diselesaikan pada 1343H. Kandungannya merupakan Terjemahan Hadits Jawahir al-Bukhari, terdiri daripada dua juzuk, yang telah dijumpai hanya juzuk yang pertama saja. Cetakan yang pertama, Al-Maktabah Zainiyah, Taiping Perak, 1350H Dicatatkan: “Titah membenarkan dicetak dari bawah Duli Yang Maha Mulia as-Sultan Perak atas minit paper Qadhi Kuala Kangsar nombor 149/30”.
  • Bidayatut Thalibin ila Ma’rifati Rabbil `Alamin, diselesaikan 1344H. Kandungannya membicarakan ilmu tauhid. Cetakan yang kedua The United Press, No. 3 Dato’ Keramat Road, Pulau Pinang, 1357 Hijrah. Ditashhih oleh Ilyas Ya’qub al-Azhari.
  • ‘Alaqatul Lamiyah wash Sharfiyah, diselesaikan 1345H. Kandungannya membicarakan ilmu sharaf atau perubahan perkataan dalam bahasa Arab.
  • Ushulut Tauhid fi Ma’rifati Thuruqil Iman lir Rabbil Majid, diselesaikan 6 Syawal 1346H. Kandungannya membicarakan falsafah ilmu tauhid dan ilmu fekah. Dicetak oleh Mathba’ah az-Zainiyah, Taiping, Perak, hari Jumaat, 4 Jamadilakhir, 1347H (cetakan kedua). Cetakan ulangan oleh percetakan yang sama tahun 1355H (cetakan ketiga). Dicetak semula dengan kebenaran anak pengarangnya Tuan Guru Haji Ahmad bin Tuan Husein, Qadhi Besar Pulau Pinang dan Seberang Perai kepada The United Press, Pulau Pinang, selesai cetak 11 Jumadilawwal 1393H
  • Hidayatun Nikah, diselesaikan 1347H. Kandungannya membicarakan perkara-perkara mengenai nikah kahwin.
  • Qathrul Ghaitsiyah fi `Ilmish Shufiyah `ala Syari’atil Muhammadiyah, diselesaikan 25 Jumadilawwal 1348H. Kandungannya membicarakan tasawuf. Cetakan yang kedua, Mathba’ah Persama, 93 Acheh Street, Pulau Pinang.
  • Majmu’ul La-ali lin Nisa’ wal Athfaliyi, juzuk yang pertama, disele- saikan pada hari Jumaat, 5 Jamadilakhir 1350H. Kandungan mukadimahnya menyatakan bahawa judul ini terdiri daripada sepuluh juzuk. Juzuk yang pertama, membicarakan hukum taharah dalam bentuk soal-jawab. Cetakan yang ketiga The United Press, Pulau Pinang, Jamadilakhir 1360H.
  • Majmu’ul La-ali lin Nisa’ wal Athfaliyi, juzuk ke-2, diselesaikan petang Isnin, 20 Rejab 1350H. Kandungannya membicarakan tentang sembahyang dalam bentuk soal-jawab. Tidak terdapat nama percetakan. Dicetak pada 22 Jumadilakhir 1352H (cetakan kedua), dinyatakan bahawa terdapat tambahan daripada cetakan yang pertama. Cetakan yang ketiga The United Press, Pulau Pinang, 3 Jumadilakhir 1360H.
  • Tabshirah li Ulil Albab, diselesaikan tahun 1351H. Kandungannya membicarakan tentang akidah/tauhid.
  • Hidayatul Ghilman, diselesaikan pada tahun 1351H. Kandungannya membicarakan tentang akidah/tauhid yang ditulis dalam bahasa Arab.
  • Nailul Maram fi ma Yujabu Husnul Khitam, diselesaikan pada hari Ahad, 6 Sya’ban 1354H. Kandungannya membicarakan tentang beberapa amalan zikir dan wirid untuk mendapatkan husnul khatimah. Dicetak oleh The United Press, dikeluarkan oleh Haji Ahmad bin Tuan Husein dengan catatan: “Dicap risalah ini untuk mendapat khairat bagi al-Madrasah al-Khairiyah al-Islamiyah, Pokok Sena, Kepala Batas, Seberang Perai.”
  • Tanbihul Ikhwan fi Tadbiril Ma’isyah wat Taslikil Buldan, diselesaikan pada tahun 1354H. Kandungannya membicarakan tentang penghidupan dan pentadbiran pemerintahan.
  • Bunga Geti, diselesaikan pada tahun 1354H. Kandungannya membicarakan tentang sembahyang qadha atau mengganti sembahyang yang ketinggalan. Kitab ini merupakan kitab terakhir yang beliau tulis

Meninggal DuniaMenurut catatan dari kelaurganya ketika beliau jatuh sakit, Tengku Abdullah; bekas muridnya meminta beliau pulang ke Kedah. Dan beliau pulang ke Kedah setelah dirayu oleh anaknya. Tengku Abdullah telah mengambil beliau di Pokok Sena dan dibawa ke rumahnya di Batu 16, Padang Lumat, dan pada 18 Zulkaedah 1354H bersamaan 10 Februari 1936M, dengan kehendak Allah Tuan Hussin pulang ke rahmatullah dan jenazahnya telah dikebumikan di perkuburan Titi Gajah. Perjuangannya diteruskan oleh anakandanya iaitu Tuan Guru Haji Ahmad Tuan Hussin, yang juga merupakan Qadhi Besar, Pulau Pinang.Demikianlah sekelumit kisah ulama seorang ulama tersohor dan berjasa. Peranannya dalam pendidikan, dakwah dan penulisan dalam seharusnya menjadi contoh kepada generasi ulama sekarang. Akhirkata, marilah kita hadiahkan al-Fatihah pada ulama besar ini. al-Fatihah.

Rujukan:
Tulisan al-Marhum Tuan Guru Haji Wan Muhammad Shaghir Wan Abdullah didalam kolum Ulama Nusantara, akhbar Utusan Malaysia 29 Jumadilakhir 1425H / 6 Ogos 2004 
Buku Tokoh-tokoh Ulama Semenajung Tanah Melayu -1
Buku Sejarah Ulama Kedah 
Portal MyKedah.
Laman Web Madrasah al-Khairiah al-Islamiah

Syeikh Abdurrahaman shiddiq al-Banjari

{ Juli 4, 2007 @ 7:41 am } · { ulama banjar } 

SYEIKH ABDUR RAHMAN SHIDDIQ AL-BANJARI

MUFTI KERAJAAN INDERAGIRI
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

ULAMA yang diriwayatkan ini adalah keturunan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, sama dengan Tuan Husein Kedah al-Banjari yang diriwayatkan minggu lalu. Jalur keturunan dari sebelah ayahnya ialah Mufti Syeikh Haji Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Haji Anang Mahmud bin Haji Jamaluddin bin Kiyai Dipa Santa Ahmad bin Fardi bin Jamaluddin bin Ahmad al-Banjari.Jalur keturunan yang menyentuh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama dunia Melayu yang sangat terkenal, ialah bahawa ibunya bernama Shafura binti Mufti Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As’ad. Ibu Mufti Haji Muhammad As’ad bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, iaitu daripada perkahwinan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Tuan Bajut. Dari jalur yang lain pula bahawa ibu Muhammad Afif bernama Sari binti Khalifah Haji Zainuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, iaitu daripada perkahwinan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Tuan Guat.Berdasarkan catatannya sendiri yang penulis peroleh daripada keturunan beliau di Sapat dan Tembilahan, Inderagiri Hilir (1982) bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq lahir bulan Rabiulakhir, malam Khamis, sebelum Subuh, 1284 Hijrah/Ogos 1867 Masihi. Beliau memadamnya dan diganti dengan 1288 Hijrah/Jun/Julai 1871 Masihi. Penulis tidak sependapat dengan beberapa orang penulis yang menyebut bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq lahir pada tahun 1857 Masihi. Mengenainya barangkali satu kekeliruan menyesuaikan tahun 1284 Hijrah atau 1288 Hijrah ke tahun Masihi saja. Bahawa 1284 Hijrah bukan bersamaan dengan tahun 1857 Masihi tetapi yang betul ialah tahun 1867 Masihi. Catatan tambahan yang dilakukan oleh anaknya bahawa beliau wafat pada hari Isnin, jam 5.40, 4 Syaaban 1358 Hijrah/18 September 1939 Masihi, dalam usia 70 tahun.
PENDIDIKAN
Pendidikan asasnya diperoleh dari lingkungan keluarga ulama Banjar yang ada hubungan dengan beliau. Sama ada kedua-dua orang tuanya, mahu pun Abdur Rahman Shiddiq sendiri berhasrat untuk memperoleh ilmu yang banyak di Tanah Suci Mekah, namun beliau menempuh jalan yang berliku-liku. Abdur Rahman Shiddiq banyak memperoleh ilmu di alam terbuka, bumi dipijak, langit dijunjung di beberapa tempat yang dirantaunya. Mulai Banjar berlayar ke Jawa, ke Sumatera, sambil berlayar, di rantau orang mengajar dan berusaha untuk memperoleh wang untuk sampai ke Tanah Suci Mekah. Perjuangannya adalah suci untuk memperoleh ilmu memartabatkan Islam, semangatnya adalah teguh kukuh tidak akan terabai dan tergugahkan. Sempat belajar dengan beberapa orang ulama di Padang, sambil berdagang emas dan perak di Padang. Beliau juga merantau ke daerah Tapanuli. Pernah mengajar kitab Sabilul Muhtadin, karangan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, datuk neneknya di Barus dan Natal di daerah Tapanuli. Berdasarkan catatan Abdur Rahman Shiddiq bahawa dalam musim haji tahun 1306 Hijrah yang bererti bersamaan dengan Julai 1889 Masihi barulah cita-cita Abdur Rahman Shiddiq sampai ke Mekah, dan tinggal di sana hingga tahun 1312 Hijrah/1894 Masihi.Oleh sebab Haji Abdur Rahman Shiddiq sampai di Mekah pada tahun tersebut di atas dinyatakan oleh beliau sendiri, maka penulis tidak sependapat dengan kenyataan Imran Effendy Hs dalam buku Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, halaman 16, 18 dan 63 yang menyebut bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq berangkat ke Mekah pada 1882/3 Masihi. Catatan tulisan tangan Haji Abdur Rahman Shiddiq penulis miliki sejak tahun 1982 di Sapat daripada salah seorang keturunan beliau. Dalam catatan itu jelas bahawa sejak dilahirkan, catatannya berada di Padang pada 10 Zulhijjah 1305 Hijrah/18 Ogos 1888 Masihi, bahawa beliau bernama Abdur Rahman Shiddiq. Oleh sebab catatannya ditulis jauh sebelum beliau berada di Mekah, maka penulis juga tidak sependapat dengan buku di atas (halaman 18) yang menyebut bahawa gelar `Shiddiq’ diberikan oleh gurunya, al-Syata (maksudnya Sayid Abu Bakri asy-Syatha) di Mekah.Sewaktu belajar di Mekah, beliau bersahabat dengan beberapa orang, di antara mereka ialah Tuan Husein Kedah al-Banjari, keturunan Banjar yang dilahirkan di Kedah ini (lahir 1280 Hijrah/1863 Masihi)usianya lebih tua beberapa tahun daripada Haji Abdur Rahman (lahir 1288 Hijrah/1871 Masihi). Sahabatnya yang lain ialah Haji Abdullah Fahim (lahir 1286 Hijrah/1869 Masihi), Tok Kenali (lahir 1287 Hijrah/1871 Masihi) dan ramai lagi. Mengenai guru-guru yang mengajar di Masjid al-Haram pada zaman itu telah banyak disebut pada siri-siri yang lalu, oleh itu tidak perlu dibicarakan lagi.
AKTIVITI
Sudah cukup jelas dan tidak perlu diragukan bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq pulang dari Mekah ialah tahun 1312 Hijrah/1894 Masihi. Oleh itu pendapat Imran Effendy Hs dalam bukunya (halaman 20) yang menyebut Haji Abdur Rahman Shiddiq pulang dari Mekah pada tahun 1890/1 dan pendapat Syafei Abdullah dalam bukunya Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syeikh H.A. Rahman Shiddiq, Mufti Inderagiri, menyebut tahun 1897 Masihi penulis tidak sependapat dan perlu penelitian yang lebih kemas lagi.Pulang dari Mekah terus ke Martapura, kemudian pindah ke Bangka dilanjutkan pengembaraan di seluruh Semenanjung menziarahi teman-temannya, di antaranya Tok Kenali. Beberapa sultan, di antaranya sultan Johor meminta beliau menjadi mufti , semuanya beliau tolak. Akhirnya Syeikh Haji Abdur Rahman Shiddiq membuka perkampungan sendiri yang kemudian diberi nama Parit Hidayat di Inderagiri Hilir. Di sanalah beliau membina umat membuka pengajian sistem pondok. Dalam masa kejayaannya membuka perkampungan untuk perkebunan kelapa dan pengajian itulah Syeikh Haji Abdur Rahman Shiddiq dilantik sebagai Mufti Kerajaan Inderagiri.
PENULISAN
Karya-karya Mufti Haji Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari yang telah ditemui penulis senaraikan sebagai berikut:1. Asrarus Shalah, diselesaikan pada bulan Rejab 1320 Hijrah. Kandungannya membicarakan mengenai sembahyang. Cetakan yang pertama Mathba’ Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, Kampung Silong, Jalan Arab Street, Kedai Surat No, 82 Singapura, akhir Zulhijjah 1327 Hijrah. Cetakan selanjutnya oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1348 Hijrah/1929 Masihi (cetakan ketiga).2. Fat-hul `Alim, diselesaikan pada 10 Syaaban 1324 Hijrah. Kandungannya membicarakan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara lengkap. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 28 Syaaban 1347 Hijrah/8 Januari 1929 Masihi.3. Risalatut Tazkirah li Nafsi wa lil Qashirin Mitsli, diselesaikan pada 20 Syaaban 1324 Hijrah. Kandungannya merupakan tazkirah dan nasihat yang dipetik daripada Majmu’ karangan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Cetakan pertama, Tempat Cap Haji Muhammad Amin, Singapura, 1324 H.4. Risalah Amal Ma’rifat, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 8 Rabiulawal 1332 Hijrah. Kandungannya membicarakan akidah menurut pandangan tasawuf. Cetakan yang kedua, 30 Muharam 1344 Hijrah oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura.5. Syair Ibarat dan Khabar Kiamat, diselesaikan 25 Zulhijjah 1332 Hijrah. Kandungannya menceritakan peristiwa Hari Kiamat ditulis dalam bentuk syair. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, 9 Syaaban 1344 Hijrah.6. Risalah Kecil Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam, diselesaikan 1 Safar 1334 Hijrah. Kandungannya merupakan pelajaran fardu ain untuk kanak-kanak. Cetakan yang ketiga oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1348 Hijrah/1929 Masihi.7. Aqaidul Iman, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 16 Rabiulawal 1338 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang akidah. Cetakan baru oleh Toko Buku Hasanu, Jalan Hasanuddin Banjarmasin atas izin Mahmud Shiddiq, Pagatan, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 1405 Masihi. Diterbitkan daripada salinan tulisan tangan oleh Hasan Bashri Hamdani.8. Syajaratul Arsyadiyah, diselesaikan 12 Syawal 1350 Hijrah. Kandungannya membicarakan asal-usul Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan keturunan-keturunannya. Cetakan pertama oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura.9. Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, diselesaikan 10 Safar 1351 Hijrah. Kandungannya menceritakan tanda-tanda Hari Kiamat dan mengenai kedatangan Imam Mahdi. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, dicetak kombinasi dengan Syajaratul Arsyadiyah (103 halaman) oleh pengarang yang sama, dan Risalah Qaulil Mukhtashar fi `Alamatil Mahdil Muntazhar (55 halaman) karya Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.10. Mau’izhah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, diselesaikan 5 Rejab 1355 Hijrah. Kandungannya merupakan kumpulan pengajaran akhlak. Cetakan yang pertama oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1355 Hijrah.11. Beberapa Khuthbah Pakai Makna Karangan Jaddi as-Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan khutbah yang pernah diucapkan oleh Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan, Singapura, tanpa dinyatakan tahun cetakan.12. Majmu’ul Ayat wal Ahadits fi Fadhailil `Ilmi wal `Ulama’ wal Muta’allimin wal Mustami’in, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan hadis serta terjemahannya dalam bahasa Melayu. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1346 Hijrah/1927 Masihi.13. Catatan, tanpa tarikh, ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kandungannya merupakan beberapa catatan Syeikh Abdur Rahman Shiddiq mulai lahir malam Khamis, sebelum Subuh 1288 Hijrah/ Jun/Julai 1871 Masihi. Wafat hari Isnin, jam 5.40, pada 4 Syaaban 1358 Hijrah/18 September 1939 Masihi, dalam usia 70 tahun. Tahun 1306 Hijrah beliau ke Mekah. Tinggal di sana hingga tahun 1312 Hijrah. Selain itu terdapat catatan kelahiran dan wafat anak-anaknya dan lain-lain.

Syekh Muhammad Abdusamad

{ Juli 4, 2007 @ 7:36 am } · { ulama banjar } 

SYEKH H.MUHAMMAD ABDUSAMAD

Penyebar Islam Dalam Suku Dayak

STRATEGI dakwah Syekh Arsyad Al-Banjari menggunakan sistem sosial di masyarakat seperti perkawinan dan kaderisasi yang membuat tersebar para ulama keturunan Datu Kalampaian ke seluruh penjuru negeri.
Salah satu ulama keturunan Datu Kalampaian Syekh H Muhammad Abdusamad bin Al-Mufti H Jamaludin bin Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Cucu Datu Kalampaian ini lebih banyak berjuang menyebarkan Islam di pesisir Sungai Barito.
H Muhammad Abdussamad, lahir 24 Zulkaidah 1237 hijriah atau 1822 masehi dari seorang ibu bernama Samayah binti Sumandi di Kampung bakumpai atau Kampung Tengah Marabahan.
‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’, begitu kira-kira pribahasa yang pantas bagi keturunan Syekh Arsyad Al-Banjari seperti Syakh Muhammad Abdussamad. Riwayat hidupnya pun hampir sama dengan kehidupan syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari seperti menuntut ilmu ke Mekkah.
Menginjak dewasa, Syekh Muhammad Abdusamad belajar ilmu agama dengan ayah yang juga terkenal sebagai sebagai ulama dan beberapa temannya di Martapura. Karena dianggap cukup mempelajari ilmu agama, Abdusasamad dipulangkan ke Bakumpai (Marabahan) untuk menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat.
Tak lama setelah kembali ke kampung halaman, Muhammad Abdusamad kawin dengan seorang wanita bernama Siti Adawiyah binti Buris. Dari hasil perkawinan, dikarunia empat anak yaitu Zainal Abidin, Abdul Razak, Abu Thalhah dan Siti Aisyah.
Seperti juga kekeknya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh Muhammad Abdusamad haus akan ilmu agama. Karenanya selain mengajar ilmu agama, Muhammad Abdusamad berniaga untuk mengumulkan uang agar dapat menuntut ilmu ke Mekkah disertai anaknya Abdul Razak.
Syekh Abdulsamad belajar dan menimba ilmu, baik syariat maupun hakikat seperti dengan guru Allamah Syekh Khatib Sambas. Dalam ilmu hakekat, Muhammad Abdusamad belajar dengan Allamah Syekh Sulaiman Al-Zuhdi An-Naqsyabandy dan belajar dengan Allamah Syekh Sulaiman bin Muhammad Sumbawa.
Syekh Muhammad Abdusamad bermukim di Mekkah hanya sekitar delapan tahun, karena guru-gurunya menyuruh untuk kembali ke kampung halaman guna menyebarkan agama. Sebelum pulang, Syekh Muhammad Abdusamad sempat diuji keponakan yang terlebih dulu menimba ilmu di Mekkah H Jamaludin bin H Abdula Hamid Qusyasyi.
Karena ketinggian ilmu tarekatnya, Syekh Muhammad Abdusamad sempat hilang saat shalat. Atas ketinggian ilmu tarekatnya itu, keponakannya yang tadinya melarang untuk pulang ke kampung halaman, akhir mempersilakannya.
Sekembali di kampung halaman, Syekh Muhammad Abdusamad mulai membuka pengajian dan ramai dikunjungi para penuntut ilmu dari berbagai daerah. Untuk menampung para penuntut ilmu, Syekh Muhammad Abdusamad membangun sebuah langgar di depan rumah dan membangun balai yang saat ini menjadi kubah almarhum di marabahan.
Dalam kegiatan dakwahnya, Syekh Muhammad Abdusamad selalu melalukan perjalanan ke pesisir Sungai Barito sampai ke udik-udik anak sungai untuk mendakwahkan Islam. Tak heran, banyak suku Dayak pedalaman yang memeluk agama Islam. Genap berusia 80 tahun, Syekh Muhammad Abdusamad meninggal dunia tepat 13 Safar 1317 H.
Atas jasa menyebarkan Islam, Pemkab Barito Kuala (Batola) bersama para ulama yang datang dari penjuru kota melakukan haulan setiap tahun.
Haulan yang ke 106 dilaksanakan, 28 April 2002 kemarin bersamaan dengan peringatan hari kelahiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ke 302 dihadiri ulama dan Bupati Batola Bardiansyah Mudjidi.

Husein Kedah Al-Banjari

{ Juli 2, 2007 @ 8:07 am } · { ulama banjar } 

HUSEIN KEDAH AL-BANJARI

GENERASI PENERUS ULAMA BANJAR
Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

APABILA kita membicarakan keturunan ulama yang terlibat dalam penulisan kitab-kitab pengetahuan Islam di dunia Melayu, maka saham atau andel terbesar ialah keluarga besar ulama Patani, yang melibatkan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani dan ramai lagi. Sesudah ulama Patani, demikian juga keluarga besar ulama Banjar. Mengenainya dimulai oleh Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan keturunan beliau. Salah seorang keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang menyatu darah dengan orang Kedah ialah Tuan Husein Kedah al-Banjari. Nama lengkapnya ialah Tuan Haji Husein Kedah bin Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib bin Syeikh Mas’ud bin Qadhi Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari bin Abdullah. Tuan Husein lahir di Titi Gajah, Alor Setar, Kedah, hari Ahad, 20 Jamadilawal 1280 Hijrah/2 November 1863 Masihi dan meninggal dunia pada hari Isnin, 18 Zulkaedah 1354 Hijrah/10 Februari 1936 Masihi).
PENDIDIKAN
Tuan Husein Kedah al-Banjari sebaya umur dengan Haji Muhammad Saleh, Pulau Pisang, Darul Qiyam, Kedah (Ulama Nusantara, Utusan Malaysia, Isnin, 31 Mei 2004) kerana sama-sama lahir dalam tahun 1280 Hijrah/1863/4 Masihi. Barangkali ada hubungan erat antara kedua-dua ulama itu kerana ibu Tuan Husein bernama Tengku Fatimah binti Tengku Mahmud, juga berasal dari daerah Kubang Pasu. Tuan Husein Kedah mendapat pendidikan asas sistem pondok daripada datuknya Haji Muhammad Thaiyib Kedah al-Banjari, seorang ulama besar yang juga menghasilkan beberapa buah karangan. Pelajaran dilanjutkan di Patani, di Pondok Bendang Daya dan sempat belajar kepada pengasasnya, Haji Wan Mushthafa bin Muhammad al-Fathani (Tok Bendang Daya I) dan selanjutnya kepada anak beliau, Syeikh Abdul Qadir (Tok Bendang DayaII). Ketika di Bendang Daya dipercayai beliau bersahabat dengan Wan Ismail bin Mushthafa (Cik Doi) dan Tok Kelaba. Selain di Bendang Daya Tuan Husein juga pernah belajar di Pondok Semela. Untuk lebih memantap dan memperdalam pelbagai ilmu Tuan Husein melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Sewaktu di Mekah dipercayai Tuan Husein Kedah al-Banjari bersahabat dengan Haji Muhammad Saleh, Pulau Pisang. Di antara guru kedua-duanya ialah Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahman al-Fathani, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayid Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan ramai lagi. Di antara guru kedua-duanya yang paling muda ialah Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani, dan yang lebih tua antara tujuh atau lapan tahun saja daripada kedua-duanya. Sungguhpun tulisan ini pada mulanya adalah untuk memfokuskan penulisan kitab yang telah dihasilkan oleh Tuan Husein Kedah al-Banjari, namun perlu juga disentuh bahawa perjuangan beliau dalam segi mengajar sama ada di pondok pengajian yang diasaskannya mahupun mengajar kitab di tempat-tempat tertentu adalah sejalan, seimbang dan sama berat dengan penulisan. Oleh itu Tuan Husein Kedah dapat kita klasifikasikan sebagai seorang ulama besar yang sangat gigih dalam perjuangan menggunakan kalam (perkataan) dan qalam (pena/ penulisan) demi penyebaran ilmu pengetahuan Islam.
PENULISAN

1. An-Nurul Mustafid fi Aqaidi Ahlit Tauhid, diselesaikan pada tahun 1305 Hijrah/1888 Masihi. Kandungannya membicarakan tentang tauhid, akidah Ahlis Sunnah wal Jamaah.

2. Tamrinush Shibyan fi Bayani Arkanil Islam wal Iman, diselesaikan pada hari Sabtu, 1 Syaaban 1318 Hijrah. Menggunakan nama Husein Nashir bin Muhammad Thaiyib al-Mas’udi al-Banjari. Kandungannya membicarakan tauhid, akidah Ahlis Sunnah wal Jamaah dinyatakan rujukannya ialah Ummul Barahin, Syarah Hudhudi, karya as-Suhaimi, Hasyiyah Syarqawi dan Dhiyaul Murid. Dicetak oleh Mathba’ah Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, Mesir, Zulkaedah 1346 Hijrah, ditashhih oleh Ilyas Ya’qub al-Azhari.

3. Hidayatus Shibyan fi Ma’rifatil Islam wal Iman, menggunakan nama Abi Abdullah Husein Nashir bin Muhammad Thaiyib al-Mas’udi al-Banjari. Diselesaikan pada hari Isnin, 18 Muharam 1330 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang tauhid dan fikah. Cetakan yang pertama Mathba’ah At-Taraqqil Majidiyah al-’Utsmaniyah 1330 Hijrah. Dicetak pula oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, 1345 Hijrah/1927 Masihi. Ditashhih oleh Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani.

4. Kisarul Aksir lish Shaghir `indal Kabir li Ma’rifatillahil `Alimil Khabir, diselesaikan pada hari Khamis, 25 Rabiulakhir 1336 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang tasauf dan thariqat. Cetakan yang ketiga, Al-Huda Press, Pulau Pinang, Safar 1356 Hijrah/April 1937 Masihi. Kitab ini baru diperoleh di Kampung Pulau Pisang, Kedah, pada 26 Jamadilawal 1425 Hijrah/14 Julai 2004 Masihi.

5. Hidayatul Athfal, diselesaikan pada 1336 Hijrah. Kandungannya pelajaran tauhid untuk kanak-kanak.

6. Hidayatul Mutafakkirin fi Tahqiqi Ma’rifati Rabbil `Alamin, diselesaikan pada 3 Rabiulakhir 1337 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang tauhid, menurut akidah Ahli Sunnah wal Jamaah. Cetakan yang pertama Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan Singapura, 1345 Hijrah/1927 Masihi. Cetakan yang kelima, Mathba’ah Persama, 83-85, Achen Street, dekat Masjid Melayu, Pulau Pinang, 1377 Hijrah/1957 Masihi.

7. Tafrihus Shibyan fi Maulidin Nabi min Waladi `Adnan, diselesaikan pada hari Selasa 3 Rabiulawal 1341 Hijrah. Kandungannya mengenai sejarah kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Dicetak oleh Mathba’ah Persama, 83-85, Achen Street, dekat Masjid Melayu, Pulau Pinang, 1382 Hijrah/1962 Masihi.

8. Tazkiru Qabailil Qadhi, diselesaikan pada 1343 Hijrah. Kandungannya merupakan Terjemahan Hadits Jawahir al-Bukhari, terdiri daripada dua juzuk, yang telah dijumpai hanya juzuk yang pertama saja. Cetakan yang pertama, Al-Maktabah Zainiyah, Taiping Perak, 1350 Hijrah. Dicatatkan, “Titah membenarkan dicetak dari bawah Duli Yang Maha Mulia as-Sultan Perak atas minit paper Qadhi Kuala Kangsar nombor 149/30”.

9. Bidayatut Thalibin ila Ma’rifati Rabbil `Alamin, diselesaikan 1344 Hijrah. Kandungannya membicarakan ilmu tauhid. Cetakan yang kedua The United Press, No. 3 Dato’ Keramat Road, Pulau Pinang, 1357 Hijrah. Ditashhih oleh Ilyas Ya’qub al-Azhari.

10. `Alaqatul Lamiyah wash Sharfiyah, diselesaikan 1345 Hijrah. Kandungannya membicarakan ilmu sharaf atau perubahan perkataan dalam bahasa Arab.

11. Ushulut Tauhid fi Ma’rifati Thuruqil Iman lir Rabbil Majid, diselesaikan 6 Syawal 1346 Hijrah. Kandungannya membicarakan falsafah ilmu tauhid dan ilmu fikah. Dicetak oleh Mathba’ah Az-Zainiyah, Taiping, Perak, hari Jumaat, 4 Jamadilakhir, 1347 Hijrah (cetakan kedua). Cetakan ulangan oleh percetakan yang sama tahun 1355 Hijrah (cetakan ketiga). Dicetak semula dengan kebenaran anak pengarangnya Tuan Guru Haji Ahmad bin Tuan Husein, Qadi Besar Pulau Pinang dan Seberang Perai kepada The United Press, Pulau Pinang, selesai cetak 11 Jamadilawal1393 Hijrah.

12. Hidayatun Nikah, diselesaikan 1347 Hijrah. Kandungannya membicarakan perkara-perkara mengenai nikah kahwin.

13. Qathrul Ghaitsiyah fi `Ilmish Shufiyah `ala Syari’atil Muhammadiyah, diselesaikan 25 Jamadilawal 1348 Hijrah. Kandungannya membicarakan tasawuf. Cetakan yang kedua, Mathba’ah Persama, 93 Achen Street, Pulau Pinang. Kitab ini baru diperoleh di Kampung Pulau Pisang, Kedah, pada 26 Jamadilawal 1425 Hijrah/14 Julai 2004 Masihi.

14. Majmu’ul La-ali lin Nisa’ wal Athfaliyi, juzuk yang pertama, disele- saikan pada hari Jumaat, 5 Jamadilakhir 1350 Hijrah. Kandungan mukadimahnya menyatakan bahawa judul ini terdiri daripada sepuluh juzuk. Juzuk yang pertama, membicarakan hukum taharah dalam bentuk soal-jawab. Cetakan yang ketiga The United Press, Pulau Pinang, Jamadilakhir 1360 Hijrah. Kitab ini baru diperoleh di Kampung Pulau Pisang, Kedah, pada 26 Jamadilawal 1425 Hijrah/14 Julai 2004 Masihi.

15. Majmu’ul La-ali lin Nisa’ wal Athfaliyi, juzuk ke-2, diselesaikan petang Isnin, 20 Rejab 1350 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang sembahyang dalam bentuk soal-jawab. Tidak terdapat nama percetakan. Dicetak pada 22 Jamadilakhir 1352 Hijrah (cetakan kedua), dinyatakan bahawa terdapat tambahan daripada cetakan yang pertama. Cetakan yang ketiga The United Press, Pulau Pinang, 3 Jamadilakhir 1360 Hijrah.

16. Tabshirah li Ulil Albab, diselesaikan tahun 1351 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang akidah/tauhid.

17. Hidayatul Ghilman, diselesaikan pada tahun 1351 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang akidah/tauhid yang ditulis dalam bahasa Arab.

18. Bunga Geti, diselesaikan pada tahun 1354 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang sembahyang qada atau mengganti sembahyang yang ketinggalan.

19. Nailul Maram fi ma Yujabu Husnul Khitam, diselesaikan pada hari Ahad, 6 Syaaban 1354 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang beberapa amalan zikir dan wirid untuk mendapatkan husnul khatimah. Dicetak oleh The United Press, dikeluarkan oleh Haji Ahmad bin Tuan Husein dengan catatan, “Dicap risalah ini untuk mendapat khairat bagi Al-Madrasah Al-Khairiyah Al-Islamiyah, Pokok Sena, Kepala Batas, Seberang Perai.”

20. Tanbihul Ikhwan fi Tadbiril Ma’isyah wat Taslikil Buldan, diselesaikan pada tahun 1354 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang penghidupan dan pendatbiran pe- merintahan.

PENUTUP
Gambaran ketekunan mengajar dan menulis ulama besar yang berasal dari Banjar dan Kedah yang sangat dikasihi oleh umat Islam di mana saja beliau menginjakkan kakinya. Selain itu beliau telah mewakafkan tanah miliknya di beberapa tempat beliau membina pondok pengajian, masjid, perkuburan Muslim dan lain-lain. Di antaranya yang dapat disaksikan sekarang ialah Sekolah Agama di Padang Lumat, Kedah, Sekolah Agama di Pokok Sena, Seberang Perai dan lain-lain. Tulisan ini masih ada kekurangan kerana keturu-nannya belum dapat disentuh, insya-Allah akan ditulis dalam sebuah buku yang lebih lengkap. 

H.Muhammad Yusuf Saigon

{ Juli 2, 2007 @ 8:06 am } · { ulama banjar } 

Yusuf Saigon al-Banjari – Ulama Hartawan & Dermawan

Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
SALAH seorang anak Mufti Jamaluddin bin Muhammad Arsyad al-Banjari, ialah Muhammad Thasin al-Banjari. Beliau mengembara ke beberapa buah negeri kerana menyebarkan agama Islam terutama sekali dalam bidang ilmu tajwid. Sewaktu beliau merantau ke Brunei, berkahwin di sana, memperoleh anak bernama Ramli. Diriwayatkan ramai keturunannya di Brunei dan Sabah. Muhammad Thasin al-Banjari meneruskan perantauannya ke Pontianak, Kalimantan Barat memperoleh tiga orang anak lelaki, iaitu Muhammad Yusuf, Muhammad Arsyad dan Abdur Rahman. Diriwayatkan, bahawa Muhammad Yusuf bin Haji Thasin setelah belajar ilmu-ilmu keislaman secara mendalam, beliau meneruskan usaha akhirnya menjadi saudagar intan. Muhammad Yusuf juga merantau ke seluruh tanah Kalimantan. Selanjutnya Muhammad Yusuf merantau ke Sumatera, hingga beliau meneruskan perantauannya ke luar negeri, iaitu ke Saigon dan Kemboja. Di Kampung Melayu, Kemboja, Muhammad Yusuf berkahwin lagi. Beliau seorang yang berpengalaman dalam perkahwinan. Diriwayatkan, sepanjang hidupnya Muhammad Yusuf pernah berkahwin sebanyak empat puluh kali. Isterinya ke empat puluh yang berasal dari Kemboja itulah yang dibawanya pulang ke Kalimantan Barat. Di Pontianak, Muhammad Yusuf membuka tanah perkebunan getah yang sangat luas. Setelah usahanya menjadi, diberinya nama kampung itu sebagai “Kampung Saigon”. Akhirnya beliau sendiri terkenal dengan panggilan Yusuf Saigon dan hilanglah nama Banjarnya. Oleh itu ramai orang menyangka Muhammad Yusuf adalah orang Saigon bukan orang Banjar. INSTITUSI PENDIDIKAN Kedua-dua anak Muhammad Thasin al-Banjari yang tersebut di atas, iaitu Muhammad Yusuf dan Muhammad Arsyad Pontianak, setelah mereka melihat kesuburan pohon-pohon getah hasil usaha gigih dan susah payah mereka sendiri, bangkitlah kembali cita-cita untuk meneruskan perjuangan moyang mereka, iaitu Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang sangat masyhur itu. Mereka berdua beriktikad, bahawa tiada satu perjuangan pun yang lebih mulia, dapat menyelamatkan seseorang sama ada di dunia mahu pun akhirat, melainkan perjuangan menyebarkan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul Allah. Bahawa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w., nabi dan rasul akhir zaman, tidak syak lagi adalah satu-satunya agama yang wajib diperjuangkan oleh setiap insan Muslim. Urusan mencari dana untuk kepentingan umat Islam ditangani oleh Muhammad Yusuf, sedangkan untuk propaganda dan dakwah dilakukan oleh saudaranya, Muhammad Arsyad. Cita-cita kedua-dua adik beradik itu dikabulkan oleh Allah, kerana dalam tahun 1925 M. datanglah seorang pemuda yang alim dari Ketapang bernama Abdus Shamad yang mendapat pendidikan di Madrasah Shaulatiyah, Mekah. Salah seorang guru beliau di Madrasah Shaulatiyah, Mekah ialah Tengku Mahmud Zuhdi bin Abdur Rahman, yang kemudian dikenali sebagai Syeikhul Islam di Kerajaan Selangor. Abdus Shamad ditampung oleh Muhammad Yusuf Saigon, lalu didirikanlah pondok-pondok tempat tinggal para pelajar, ketika itu berdirilah Pondok Pesantren Saigoniyah yang dianggap sebagai pondok pesantren yang pertama di Kalimantan Barat. Sungguhpun demikian, sebenarnya sistem pendidikannya bukan sistem pondok, kerana ia juga mempunyai bangku-bangku tempat duduk para pelajar. Dikatakan sebagai pondok pesantren yang pertama di Kalimantan Barat hanyalah kerana di Pondok Pesantren Saigoniyah yang pertama sekali terdapat pondok-pondok tempat tinggal para pelajar yang dimodali oleh Muhammad Yusuf Saigon. Ada pun pengajian pondok selain itu ialah Dar al-’Ulum yang diasaskan oleh Abdur Rahman bin Husein al-Kalantani, murid Tok Kenali. Pengajian pondok beliau terletak di Kampung Terusan, Mempawah. Hanya pondok pengajian inilah satu-satunya pondok pengajian tanpa kelas dan tanpa bangku, sistem pendidikannya sama dengan di Patani, Kelantan, Kedah dan Pulau Jawa. Dalam tahun 1975, beberapa orang kader Pondok Pesantren Saigoniyah dan Dar al-’Ulum bergabung, sama-sama mengajar di Pondok Pesantren Al-Fathaanah di Kuala Mempawah. Oleh itu bererti kelanjutan daripada kedua-dua institusi yang tersebut, masih berjalan terus sampai sekarang. Kader-kader Pondok Pesantren Saigoniyah banyak mengeluarkan kader-kader yang mengajar di beberapa tempat di Kalimantan Barat tetapi sekarang hampir semuanya telah meninggal dunia. Pondok Pesantren Saigoniyah hilang atau tenggelam namanya akibat perang dunia yang kedua, tentera Jepun sangat ganas di Kalimantan Barat. Setelah Jepun kalah, nama itu tidak muncul lagi, nama baru yang muncul dalam tahun 1977 ialah Madrasah Al-Irsyad. Nama baru ini diberikan bertujuan mengabadikan nama Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan nama keturunan beliau, iaitu Muhammad Arsyad. Beliau adalah satu-satunya ulama yang dihormati di Kampung Saigon ketika itu. Memandangkan institusi-institusi pendidikan pondok di beberapa tempat di Pulau Jawa mencapai kemajuan, sebaliknya di tempat-tempat yang lain termasuk di Malaysia mengalami kemerosotan, bahkan ada yang hanya dikenang namanya saja, rasanya perlulah insan-insan yang sedar dan insaf berjuang menghidupkannya kembali. Ini kerana sistem pengajian pondok satu ketika dulu diakui oleh ramai pihak sebagai institusi yang mencerdaskan umat Melayu sejagat. Dengan perkembangan dunia yang serba canggih dan moden, institusi pondok perlu canggih dan moden juga. Pondok Pesantren Saigoniyah yang satu ketika dulu pernah terkenal di Kalimantan Barat, bahkan menjadi dipuji oleh masyarakat Banjar di mana saja mereka berada, sekarang telah tiada. Kita mengharapkan pejuang-pejuang pendidikan sistem pondok dunia Melayu tetap berfikir dan berusaha ke arah sesuatu yang hilang akan ada gantinya. Sebagaimana kita ketahui, Muhammad Yusuf Saigon, yang berperanan dalam pembinaan Pondok Pesantren Saigoniyah, adalah salah seorang keturunan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Perlu juga kita ketahui, dalam zaman yang sama keluarga ini juga menjalankan aktiviti serupa di tempat-tempat lainnya di dunia Melayu, bahkan termasuk juga Mekah. Sebagai contoh Mufti Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari mengasaskan pengajian pondok di Parit Hidayat, Sapat, Inderagiri Hilir, Sumatera. Tuan Husein Kedah al-Banjari mengasaskan beberapa tempat pendidikan sistem pondok di Malaysia. Beliau memulakan aktivitinya di Titi Gajah, Kedah, selanjutnya di Pokok Sena, Seberang Perai, Pulau Pinang yang dikenali dengan Yayasan Pengajian Islam Madrasah Al-Khairiah. Selain institusi pendidikan di Pontianak, Kalimantan Barat, Sapat, Inderagiri dan Malaysia sebagaimana yang disebutkan di atas, masih banyak lagi institusi pendidikan keluarga ulama Banjar tersebut di tempat-tempat lain, sama ada di Banjar mahu pun di Pulau Jawa. Di Bangil, Jawa Timur ada pondok pesantren yang diasaskan keluarga ini, seperti Pesantren Datuk Kelampayan. Pondok tersebut diasaskan oleh al-`Alim al-Fadhil Kiyai Haji Muhammad Syarwani Abdan al-Banjari. Datuk Kelampayan adalah gelaran untuk Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari kerana beliau dimakamkan di Kelampayan. Di Dalampagar (Banjar) sekurang-kurangnya terdapat dua buah institusi pendidikan yang diasaskan oleh keluarga ini, demikian pula di Teluk Selong, Kampung Melayu dan lain-lain. Dua buah madrasah di Dalampagar diberi nama Madrasah Sullam Al-’Ulum dan Madrasah Mir’ah ash-Shibyan. Yang di Teluk Selong diberi nama Madrasah Sabil Ar-Rasyad. Yang di Sungai Tuan diberi nama Madrasah Al-Irsyad. Yayasan yang diasaskan oleh keluarga ulama Banjar tersebut juga terdapat di beberapa tempat, seumpama Yayasan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Yayasan terbentuk dalam rangka haul ulama tersebut yang ke 160 kali oleh panitia (jawatan kuasa) pada 30 November 1967, hari kewafatan beliau yang jatuh pada 7 Syawal 1387 H/7 Januari 1968 M, diadakan di Kompleks Kubah Kelampayan, Kalimantan Selatan. Guru agama dalam keluarga ulama Banjar ini bernama Kiyai Haji Muhammad Saman bin Muhammad Saleh (lahir 3 November 1919) yang telah berhasil mengasaskan Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Makrifatullah wa Makrifatur Rasul Nurul Islam di Banjar dan sejak tahun 1972 telah berhasil mengajar dan berdakwah di negeri Sabah. Ada beberapa orang besar dan tokoh terkemuka di Sabah yang merupakan murid beliau, di antaranya ialah Datuk Mohd Ainal bin Haji Abdul Fattah, PGDK, LLB, MBA (UMS), penyusun buku Dokumentasi Pilihan Raya Ke-11, cetakan pertama tahun 2005 yang lengkap dengan pelbagai gambar. Buku tersebut telah dilancarkan oleh Datuk Seri Abdullah Badawi, Perdana Menteri Malaysia pada hari Jumaat 22 Julai 2005 di Pusat Dagangan Dunia Putera (PWTC). PENULISAN Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad Thasin al-Banjari adalah seorang ulama. Beliau juga menyebarkan Islam dengan cara berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sungguh pun beliau merantau namun sempat juga menghasilkan beberapa buah karangan. Di antaranya yang diberi judul Tajwid Fatihah. Karya beliau pula ialah Tajwid al-Quran, diselesaikan di Pontianak, hari Isnin, 8 Ramadan 1347 H. Cetakan pertama kedua-dua karya tersebut dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 29 Jamadilawal 1348 H. Menurut keterangan anak beliau, Fauzi Arsyad masih ada beberapa buah karangan Muhammad Arsyad, ayahnya itu, di antaranya ialah Ilmu Ushul Fiqh. Dengan sangat disesali saya hanya memperoleh dua judul yang tersebut di atas saja, ketika saya menyusun buku Syeikh Muhd. Arsyad Al-Banjari Matahari Islam (1402 H/1982 M) beliau berjanji akan membongkar kitab-kitab yang ada dalam simpanan untuk mendapatkan semua karangan ayahnya, namun hingga beliau meninggal dunia karangan-karangan yang dimaksudkan gagal diperoleh. Ilmu Ushul Fiqh termasuk salah satu ilmu yang tidak banyak ditulis dalam bahasa Melayu, Prof. Dr. Hamka menulis, “Orang pertama menulis Ilmu Ushul Fiqh dalam bahasa Melayu ialah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang diberinya judul Sullamul Ushul Yurqabihi Samma’u Ilmul Ushul, selesai ditulis pukul 6.30 pagi, hari Sabtu, 24 Muharam 1333 H atau 12 Disember 1914 M di Jambatan Besi, Padang Panjang.” Jika ushul fiqh karya Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad Thasin dapat ditemui tentu kita dapat membandingkannya dengan karya ayah atau orang tua Buya Hamka itu. Kemungkinan karya ulama keturunan Banjar itu lebih dulu atau pun jika terkemudian rasanya dalam jarak tahun yang tidak begitu jauh. Kerana kedua-dua ulama yang berasal dari Banjar dan Minangkabau itu menjalankan aktiviti pendidikan, dakwah dan penulisan adalah dalam tahun-tahun yang bersamaan. 

Mufti Jamaluddin

{ Juni 22, 2007 @ 9:56 am } · { ulama banjar } 

MUFTI JAMALUDIN AL-BANJARI

 
Dari kanan: Muhammad Saman (keturunan ulama Banjar), penulis dan Datuk Mohd Ainal Abdul Fatah Sabah (keturunan ulama Banjar).

Ahli Undang-Undang Kerajaan Banjar

SYEIKH Muhammad Arsyad al-Banjari memperoleh anak dan keturunan yang sangat ramai menjadi ulama. Dalam artikel ini mengungkapkan anak beliau yang bernama Jamaluddin. Ibu Jamaluddin bernama Go Hwat Nio atau sebutan popular dipanggil Tuan Guat saja. Tuan Guat adalah seorang Cina yang memeluk Islam oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari sendiri. Adik beradik daripada ibu ini ada enam orang, yang menjadi ulama besar dan terkenal di antara mereka ialah: 1. Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Hasanuddin. 2. Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Zainuddin. 3. Al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Jamaluddin. Tiga orang lagi yang perempuan, ialah 4. Aisyah 5. Raihanah 6. Hafsah.
Al-`Alim al-`Allamah Khalifah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (yang pertama), zuriatnya yang menjadi ulama, ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Muhammad Khalid, al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad Qaim. Al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (ketiga), zuriatnya yang menjadi ulama, ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Muhammad Husein, al-`Alim al-Fadhil Qadi Haji Muhammad Amin, al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abdus Shamad dan al-`Alim al-’Allamah Haji Muhammad Thasin. Haji Jamaluddin al-Banjari digelar juga dengan `Surgi Mukti’, lahir sekitar tahun 1780 M. Tahun wafatnya belum diketahui. Makamnya terletak di Sungai Jingah (Ku’bah), Banjar.
Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin yang seayah tetapi berlainan ibu ialah Syarifah, ibunya bernama Tuan Bajut. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abu Su`ud, al-`Alim al-`Allamah Khalifah Haji Abu Na`im, dan al-`Alim al-`Allamah Khalifah Haji Syihabuddin. Ibu mereka bernama Tuan Baiduri. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Haji Abu Su`ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, sewaktu kembali daripada menunaikan haji, berkahwin lagi di Kedah dan memperoleh seorang putera, Mas`ud. Zuriatnya Tuan Husein Kedah, ulama yang terkenal di Malaysia. Mengenainya telah diperkenalkan di Ruangan Agama, Utusan Malaysia, dengan judul Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar pada 16 Ogos 2004. Al-`Alim al-`Allamah Haji Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari di Mekah, belajar kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Tahun 1258 H./1842 M. raja-raja Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti meminta kesediaannya menjadi guru di Kerajaan Riau. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Haji Abdullah (wafat di Madinah) dan al-`Alim al-Fadhil Abdur Rahim. Beliau menunaikan haji dengan menaiki kapal layar, kapalnya pecah dan beliau wafat. Ibu kedua-duanya bernama Tuan Lipur. Adik beradik Mufti Haji Jamaluddin daripada ibu yang lain pula ialah al-`Alim al-`Allamah Mufti Haji Ahmad dan yang perempuan bernama Shafiyah. Ibu kedua-duanya bernama Ratu Aminah binti Pangeran Thaha bin Sultan Tahmidullah. Pada tarikh 9 Julai 2005, saya dan ahli PENGKAJI bertemu dengan keturunan Shafiyah, Kiyai Haji Muhammad Saman bin Muhammad Saleh di Hotel Pan Pacific, Kuala Lumpur. Pertemuan yang melibatkan beberapa keturunan tersebut yang berasal dari Sabah dan Banjar adalah atas kehendak dan diatur oleh Datuk Mohd Ainal bin Haji Abdul Fattah dan kawan-kawan. Kiyai Haji Muhammad Saman adalah guru agama dari Pesantren Yayasan Nurul Hikmah dan beliau juga aktif mengajar di Sabah. Kami merumuskan kerjasama penyelidikan dan pengembangan khazanah ulama silam dunia Melayu yang perlu diperkasakan. Disingkatkan riwayatnya bahawa semua adik beradik Mufti Haji Jamaluddin ada 30 orang daripada ibu seramai 11 orang.
Keluarga jadi mufti
Lingkungan keluarga dekat Mufti Haji Jamaluddin yang menjadi mufti disebut oleh Syeikh Abdur Rahman Shiddiq dalam Syajarah al-Arsyadiyah, ada 10 orang;
 1. Al-`Alim al-`Allamah Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
 2. Al-`Alim al-`Allamah Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
3. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad As`ad bin Utsman. 
4. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As`ad. 
5. Al-`Alim al-`Allamah Haji Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
6. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Khalid bin `Allamah Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
7. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Nur bin al-’Alim al-’Allamah Qadi Haji Mahmud.
 8. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
9. Al-`Alim al-`Allamah Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid. 
10. Al-`Alim al-`Allamah Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad `Afif bin `Alimul `Allamah Qadi Abu Na`im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Daripada yang pertama hingga kelima pada zaman pemerintahan Sultan Banjar. Sedangkan keenam hingga 10 pada zaman penjajahan Belanda.
Daripada maklumat yang lain, golongan keluarga ini yang menjadi Mufti, ialah : 
1. Haji Muhammad Husein bin Mufti Haji Jamaluddin. 
2. Haji Abdul Jalil bin Mufti Haji Syihabuddin. 
3. Haji Muhammad Yunan bin Mufti Haji Muhammad Amin. 
4. Haji Sa`id bin Haji Abdur Rahman. 
5. Haji Mukhtar bin Qadi Haji Hasan. Jadi, bererti 10 orang yang di atas ditambah 5 orang, kesemuanya 15 orang. Kemungkinan masih ramai yang belum diketahui.
Keluarga jadi qadi
Keluarga ini yang menjadi qadi, yang telah diketahui sekurang-kurangnya 25 orang, ialah:
 1. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Abu Su`ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
 2. Al-`Alim al-`Allamah Qadi Abu Na`im bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
3. Al-`Alim al-`Allamah Haji Mahmud bin Haji Muhammad Yasin. 
4. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Amin bin Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari. 
5. Al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad Ali al-Junaidi bin Qadi Haji Muhammad Amin.
 6. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Sa`id al-Jazuli bin Qadi Haji Su`ud.
 7. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Amin bin Qadi Haji Mahmud. 
8. Al-`Alim al-`Allamah Haji Abdus Shamad bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
 9. Al-`Alim al-`Allamah Haji Muhammad Jafri bin Qadi Haji Abdus Shamad.
 10. Al-`Alim al-Fadhil Qadi Haji Bajuri. 
11. Al-`Alim al-Fadhil Haji Muhammad As`ad bin Mufti Haji Muhammad Nur bin Qadi Haji Mahmud. 
12. Haji Ibrahim bin Mufti Haji Jamaluddin.
 13. Haji Abu Talhah bin Qadi Abdus Shamad. 
14. Haji Muhammad Thaiyib bin Haji Muhammad Qasim. 
5. Haji Muhammad bin Haji Muhammad Qasim
16. Haji Zainal bin Lebai Darun. 
17. Haji Abdur Rahman bin Qadi Haji Muhammad Sa`id. 18. Haji Qasim bin Mu’min.
 19. Haji Muhammad Sa`id bin Mu’min. 20. Haji Muhammad Arsyad bin Qadi Haji Abdur Rahman.
 21. Haji Hasan bin Mufti Haji Muhammad Sa`id. 22. Haji Abdur Rauf. 
23. Haji Abdul Jalil bin Qadi Haji Muhammad Arsyad. 
24. Haji Ahmad bin Abu Naim. 
25. Haji Muhammad Arsyad bin Qadi Haji Abdur Rauf.
Aktiviti
Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan Islam secara mendalam daripada ayahnya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Selain sebagai Mufti Martapura, Haji Jamaluddin juga giat mengajar sama ada orang awam atau pun golongan istana kesultanan Banjar. Haji Jamaluddin, Mufti Martapura yang paling besar pengaruhnya pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825 M – 1857 M), beberapa orang peneliti sejarah berpendapat bahawa Undang-Undang Sultan Adam (1251 H / 1835 M) adalah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pandangan Mufti Haji Jamaluddin. Sebagai bukti pada Fasal 31, terdapat nama beliau, tertulis sebagai berikut, “Sekalian kepala-kepala jangan ada yang menyalahi pitua Haji Jamaluddin ini namun orang lain yang menyalahi apabila ikam tiada kawa manangat lekas-lekas bapadah kayah di aku.” Fasal 31 tersebut ditulis dengan sangat panjang. Menurut kertas kerja Abdurrahman S.H. (sekarang Hakim Agung Indonesia) tertulis dalam bahasa Banjar huruf Latin / Rumi ejaan lama, seperti huruf `u’ masih menggunakan `oe’. Abdurrahman S.H. juga mencantumkan dalam kertas kerjanya itu teks dalam bahasa Belanda. Beliau menyimpulkan Fasal 31 tersebut bahawa “tentang tata pemerintahan hanyalah bagian pertama saja sedang bagian akhir adalah mengenai nazar.” Selanjutnya Abdurrahman S.H. memberi komentar, “Tetapi yang penting di sini adalah suatu hal yang luar biasa bagi seorang ulama kalau fatwanya dimasukkan ke dalam salah satu pasal daripada undang-undang kerajaan sehingga mempunyai otoritas tersendiri sebagai hukum negara. Suatu hal yang jarang terjadi di mana-mana.”
Selain hal-hal yang tersebut di atas, Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari adalah seolah-olah sebagai seorang pendamai perselisihan keluarga Diraja Banjar dan pemegang “Surat Wasiat Sultan Adam”. Dalam bulan Disember 1855 Sultan Adam menulis surat wasiat yang kandungannya bertujuan pengganti Sultan Adam sebagai sultan ialah Pangeran Hidayatullah. Kepada puteranya Pangeran Prabu Anom, dan cucunya Pangeran Tamjidillah diancam dengan hukuman mati, jika menghalangi surat wasiat itu. Surat Wasiat Sultan Adam yang tersebut juga dipegang oleh Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari.
Penulisan
Karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari yang paling terkenal di seluruh dunia Melayu ialah `Perukunan Jamaluddin’. Pada semua cetakan `Perukunan Jamaluddin’ dapat dipastikan bahawa kitab yang tersebut memang karya beliau. Namun masih ada pendapat yang mengatakan bahawa kitab tersebut adalah karya saudara perempuannya bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Pendapat yang lain pula ada yang mengatakan adalah karya anak saudaranya yang bernama Fatimah. Pada pandangan saya, sebelum menghuraikan mengenai ini perlulah kita mengenali pelbagai versi kitab yang dinamakan Perukunan. Setelah kita mengenali pelbagai versi, barulah kita dapat menentukan pengarangnya. Ada yang dinamakan `Perukunan’ saja. Ada yang dinamakan Perukunan Jamaluddin. Ada yang dinamakan Perukunan Besar. Ada yang dinamakan Perukunan Melayu. Ada yang dinamakan Perukunan Jawa. Ada yang dinamakan Perukunan Sunda. Dan terakhir sekali ada yang dinamakan Perukunan Bugis. Tiga jenis `Perukunan’ yang terakhir Jawa,Sunda dan Bugis tidak perlu dibicarakan di sini kerana ketiga-tiganya hanyalah merupakan terjemahan saja daripada Perukunan Melayu. Terlebih dulu di bawah ini diambil data beberapa buah cetakan awal `Perukunan’ yang dinisbahkan sebagai karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari, iaitu yang dicetak oleh Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1315 H/1897 M. Pada kulit depan tertulis, “Ini kitab yang bernama Perukunan karangan asy-Syeikh al-`Alim Mufti Haji Jamaluddin ibnu al-Marhum al-`Alim al-Fadhil asy-Syeikh Muhammad Arsyad Mufti Banjari.” Karya Mufti Haji Jamaluddin al-Banjari yang lain, yang kurang diketahui umum, Bulugh al-Maram fi Takhalluf al-Muafiq fi al-Qiyam (1247 H/1831 M).

Muhammad Thayib

{ Juni 22, 2007 @ 9:56 am } · { ulama banjar } 

MUHAMMAD THAIYIB PENERUS TRADISI ULAMA BANJAR
Oleh: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
 BEBERAPA orang ulama yang berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan, keluarga dekat dengan ulama yang diriwayatkan ini, telah diperkenalkan dalam Bahagian Agama, Utusan Malaysia. Mereka ialah Tuan Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar (16 Ogos 2004), Syeikh Abdur Rahman Shiddiq Al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri (23 Ogos 2004), Mufti Jamaluddin Al-Banjari, Ahli Undang-Undang Kerajaan Banjar, (15 Ogos 2005), Haji Yusuf Saigon Al-Banjari, (22 Ogos 2005) dan Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Pengarang Sabil Al-Muhtadin (19 September 2005). Pada judul-judul yang tersebut ulama yang bernama Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari adalah jalur ke atas ulama yang diriwayatkan ini, sedang Tuan Husein Kedah al-Banjari adalah cucu beliau. Nama lengkapnya ialah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud bin Qadhi Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Di antara nama yang digunakan dalam penulisan ialah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Khalidi an-Naqsyabandi. Penambahan perkataan “al-Khalidi an-Naqsyabandi” adalah berdasarkan sebuah karya beliau judul, “Fat-hul Hadi. Dengan digunakannya perkataan yang tersebut berertilah ulama yang berasal dari Banjar yang tinggal di Kedah tersebut adalah seorang sufi, pengamal Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah. Daripada maklumat di atas jelas bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari sama pegangannya dengan Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi (Minangkabau) yang kedua-duanya hidup sezaman yang menyebarkan Thariqat Naqsyabandiyah aliran al-Khalidiyah yang tersebut dalam kerajaan Riau-Lingga dan selanjutnya di Melaka dan Kedah. Sangat kemungkinan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari adalah murid pada Syeikh Ismail bin Abdullah al-Khalidi yang tersebut, hal ini kerana jika dibandingkan kemunculan ulama Minangkabau tersebut lebih dulu muncul daripada Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari. *Asal usul Ayahnya Syeikh Mas’ud itulah yang dikatakan telah menemui syahidnya di dalam peperangan di antara Patani dan Kedah melawan Siam, iaitu bersama-sama kejadian hilangnya Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani. Datuknya bernama Qadhi Haji Abu Su’ud diceritakan bahawa beliau pulang dari Makkah untuk meneruskan perjalanannya pulang ke Banjar telah singgah di Kedah. Sultan Kedah telah meminta kepadanya supaya tinggal di Kedah saja untuk menjadi guru baginda dan rakyat Kedah. Peristiwa yang sama berlaku pula kepada saudara kandung Syeikh Qadhi Haji Abu Su’ud yang bernama Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari diminta oleh Sultan Riau-Lingga supaya menjadi Mufti, mengajar istana dan rakyat Riau-Lingga dalam berbagai-bagai ilmu pengetahuan Islam. Pendek kata semua adik beradik dan datuk/nenek kepada Syeikh Muhammad Thaiyib adalah ulama-ulama besar yang terkenal dan tidak asing bagi masyarakat Melayu di seluruh dunia Melayu. Di Kedah Qadhi Haji Abu Su’ud al-Banjari atas kehendak Sultan Kedah telah kahwin dengan perempuan bernama Rajmah. Dari perkahwinan itu memperoleh anak dinamakan Mas’ud, iaitu ayah kepada Syeikh Muhammad Thaiyib yang diriwayatkan dalam artikel ini. Daripada cerita di atas dapat diambil kesimpulan bahawa ulama yang diriwayatkan ini sebelah ayahnya adalah berasal dari Banjar sedang sebelah ibunya berasal dari Kedah. *Pendidikan Syeikh Muhammad Thaiyib Banjar-Kedah dipercayai memperoleh pendidikan asas dari ayah dan datuknya sendiri. Selanjutnya Syeikh Muhammad Thaiyib juga mempunyai konteks kepada kaum keluarganya yang menjadi ulama di negeri Banjar, Jawa, Bangka, Belitung dan Makkah. Banyak kali beliau pulang ke Banjar, atau pergi ke Makkah, atau di tempat-tempat yang diketahuinya ada kaum keluarganya yang menjadi ulama. Pada masa usia mudanya lebih banyak menerima pelajaran daripada memberikan pelajaran. Tetapi manakala beliau telah meningkat tua adalah sebaliknya lebih banyak mengajar daripada menerima. Tidaklah diragukan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib tersebut adalah seorang ulama besar, bahkan anak beliau juga seorang ulama besar yang banyak jasanya dalam pembinaan ulama di Semenanjung Tanah Melayu. Daripada sebuah kitab judul Miftah as-Shibyan fi ‘Aqaidil Iman oleh Syeikh Muhammad Zain Nuruddin dapat diketahui sanad atau hubungan pengajian Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari ialah, “… hamba mengambil ilmu sharaf, dan nahu, dan fiqh, dan ilmu tasawuf, dan ilmu ushuliddin di dalam Negeri Bahara Pesisir Kampung Dahari kepada Syeikhina Walidiyi al-murabbiyi ruhiyi wal jasadiyi al-’Alim asy-Syeikh Abbas, Imam al-Khalidi an-Naqsyabandi, ibnu al-Mukarram al-Haji Muhammad Lashub. Ia mengambil daripada asy-Syeikh Ismail ibnu asy-Syeikh al-Khathib Sikin, dan daripada asy-Syeikh Alim al-Allamah al-Fahamah asy-Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, dan daripada asy-Syeikh al-Allamah Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi, dan daripada Syeikh ‘Ali al-Qad-hi.” Daripada petikan ini dapat disimpulkan bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi adalah termasuk salah seorang guru bagi Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, iaitulah ulama besar dunia Melayu yang terkenal penyusun kitab ‘Aqidah an-Najin, Kasyf al-Litsam, Kasyf al-Ghummah, dan lain-lain. Melalui sanad ini menurunkan beberapa orang ulama di Sumatera Utara, di antaranya ialah Syeikh Abbas bin Haji Muhammad Lashub Imam al-Khalidi an-Naqsyabandi dan anak beliau Syeikh Muhammad Zain Nuruddin, Negeri Bahara Pesisir Kampung Dahari, Sumatera Utara, penyusun beberapa buah kitab. *Karya Ada tiga risalah karya ulama yang berasal dari Banjar ini yang telah dijumpai, ialah: 1. Miftah al-Jannah fi Bayan al-’Aqidah, 2. Fat-hul Hadi, 3. Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman, 4. Bidayah al-Ghulam fi Bayan Arkan al-Islam. Risalah yang pertama, Miftah al-Jannah, pada satu naskhah catatan diselesaikan penulisan pada 16 Syawal 1247 H/19 Mac 1832 M pada naskhah yang lain pula dinyatakan pada 16 Syawal 1255 H/23 Disember 1839 M. Terdapat pelbagai edisi cetakan, cetakan Mathba’ah al-Miriyah al-Kainah Mekah, 1321 H dan 1327 H. Dicetak kombinasi dengan risalah-risalah Ushul at-Tahqiq, Mau’izhah li an-Nas, Tajwid al-Quran semuanya tanpa menyebut nama pengarang. Dan di tepinya pula dicetak risalah Asrar ad-Din juga tidak disebut nama pengarang. Risalah yang kedua, Fat-hul Hadi, diselesaikan hari Isnin, 4 Jumadilakhir 1282 H/25 September 1865 M. Kandungan membicarakan ilmu tasawuf tentang haqiqat merupakan terjemahan dan petikan daripada kitab Syarh Tuhfah al-Mursalah Syeikh Muhammad Bin Fadhlullah Al-Burhanfuri yang disyarah oleh Syeikh ‘Abdul Ghani an-Nablusi. Pada bahagian akhir kitab Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari menyatakan, “Bermula yang membangunkan bagi aku pada yang demikian itu, dan jika tiada aku ahli bagi yang demikian itu, isyarat daripada putera Sultan kami dengan lisan halnya dan maqalnya serta elok segala perangainya dan af’alnya. Maka bahawasanya ia datang akan aku dengan kelakuan segala faqir-faqir dan meninggal ia akan segala pakaian bagi segala amir-amir. Serta bahawasanya ia kamil pada kemuliaan, dan kekayaan dan rakha. Bermula namanya itu seperti nama seorang Nabi yang asyiq akan dia oleh Zulaikha …” Risalah yang ketiga (Bidayah al-Ghilman fi Bayan Arkan al-Iman) dijumpai sebuah manuskrip yang diselesaikan pada tahun 1297 H/1879 M. Hanya sebuah itu saja manuskrip judul ini, tidak terdapat salinan lainnya. Dalam sebuah manuskrip terkumpul beberapa buah naskhah, bukan karya Syeikh Muhammad Thaiyib sendiri saja. Pada halaman 3 terdapat tulisan Syeikh Abdul Muthallib bin Tuan Faqih Kelantan di Mekah, tahun 1307 H/1890 M. Kandungannya membicarakan mengganti sembahyang yang tertinggal menurut Mazhab Hanafi yang diamalkan dalam Mazhab Syafie. Halaman 6 sampai halaman 24 berasal dari tulisan Haji Abdur Rahman bin Haji Wan Thalib di dalam negeri Cenak, Kampung Temparak (Patani) tahun 1290 H. Membicarakan fiqh dimulai dengan membicarakan zakat. Halaman 35 sampai 51 iaitulah tulisan/karya Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud dengan judul yang telah disebutkan. Kandungan karya Syeikh Muhammad Thayib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi ini membicarakan ilmu tauhid, membahas Sifat Dua Puluh. Daripada yang dipaparkan di atas, terdapat banyak bukti bahawa Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud banyak meninggalkan karya yang lain, di antaranya telah dijumpai sebuah naskhah yang beliau karang dalam bahasa Arab dan di bawahnya diberi makna dengan bahasa Melayu. Di akhir manuskrip tersebut beliau tulis nama orang tuanya dengan “Mas’ud asy-Syahid”. Maksud asy-Syahid di sini ialah mati syahid dalam perang fi sabilillah melawan pencerobohan Siam terhadap Patani dan Kedah. Dengan dijumpai naskhah tersebut dapat memperkuat sekian banyak cerita masyarakat Melayu terutama di Kedah, Patani, Pontianak dan Banjar serta yang bertulis pula diriwayatkan oleh Tuan Guru Mufti Haji Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari yang beliau ceritakan dalam kitab Syajaratul Arsyadiyah. Juga cerita rakyat yang mungkin ada pihak-pihak tertentu memandang cerita tersebut sebagai legenda atau dongeng. *Keturunan Anak-anak Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud di Kedah di antaranya ialah Haji Muhammad Nashir, Haji Salman, Haji Abdullah dan Haji Abdur Rahman. Haji Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari yang tersebut menurunkan seorang anak yang menjadi ulama besar yang sangat terkenal di Malaysia, Patani dan Banjar. Beliau ialah Tuan Guru Tuan Husein Kedah, atau nama lengkapnya Tuan Guru Haji Husein bin Muhammad Nashir bin Syeikh Muhammad Thaiyib bin Mas’ud al-Banjari al-Qad-hi. Sebahagian jasa Tuan Husein Kedah yang tidak dapat dilupakan ialah pendidikan pondok yang diasaskannya di Pokok Sena, iaitu termasuk di antara pusat pengajian pondok yang terkenal di Malaysia pada zamannya. Sangat ramai murid beliau yang menjadi ulama dan tokoh yang terkenal baik di Malaysia mahu pun di tempat-tempat lainnya seperti di Indonesia, Patani dan lain-lain. Tuan Husein pula meninggalkan beberapa buah karangan meneruskan tradisi datuk nenek beliau mulai dari Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari lagi. Di antara karangan Tuan Husein Kedah al-Banjari ada yang masih beredar di pasaran kitab sampai sekarang dan ada juga yang tidak beredar lagi. Di antara karangan Tuan Husein Kedah cucu Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari al-Qad-hi ialah: 
1. Hidayah ash-Shibyan, diselesaikan tahun 1330 H, 
2. Qathr al-Ghaitsiyah, diselesaikan tahun 1348 H,
 3. Bidayah ath-Thalibin, 
4. Ushul at-Tauhid, 
5. Hidayah al- Mutafakkirin dan lain-lain.

Syaikh Syihabuddin

{ Juni 22, 2007 @ 9:55 am } · { ulama banjar } 

SYAIKH SYIHABUDDIN DIMULIAKAN KERAJAAN RIAU-LINGGA
Oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah

DALAM beberapa keluaran Bahagian Agama, Utusan Malaysia yang lalu, saya menulis tentang ulama-ulama Banjar yang sangat erat hubungan dengan ulama ini.
Di antaranya ialah artikel bertajuk Muhammad Thaiyib Penerus Tradisi Ulama Banjar (8 Januari 2007).
Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari adalah cucu saudara pada ulama yang sedang dibicarakan ini. Datuk kepada Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari bernama Kadi Abu Su’ud adalah adik beradik dengan Syeikh Syihabuddin. Ayah mereka ialah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan ibu mereka pula ialah Tuan Baiduri (Bidur).
Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mempunyai 30 adik-beradik yang satu ayah saja, kerana Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari berkahwin sebanyak 11 kali.
Di antara adik-beradik Syeikh Syihabuddin al-Banjari, yang satu ayah termasuklah Mufti Jamaluddin al-Banjari.
Pendidikan
Syeikh Syihabuddin mendapat pendidikan dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan melanjutkan pendidikan di Mekah. Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, Saiyid Ahmad al-Marzuqi dan lain-lain.
Untuk menghadapi pelbagai cabaran dunia, Syeikh Syihabuddin menerima beberapa amalan dari ayahnya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Saya sendiri ada sanad mengenai yang tersebut yang saya terima di Sapat, Inderagiri pada Isnin, 10 Rabiulakhir 1406 H/22 Disember 1985 dari Tuan Guru Haji Muhammad As’ad.
Beliau menerima dari ayahnya Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq menerima dari ayahnya Syeikh Muhammad Afif al-Banjari. Syeikh Muhammad Afif menerima dari Syeikh Syihabuddin al-Banjari. Syeikh Syihabuddin menerima dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Amalan yang tersebut ada persamaan dengan salah satu amalan yang termaktub dalam naskhah peninggalan pahlawan Mat Kilau. Ada kemungkinan Mat Kilau turut menerimanya dari Syeikh Syihabuddin al-Banjari.
Syeikh Syihabuddin adalah putera Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dari isterinya bernama Baiduri (Bidur). Adik beradik satu ayah dan satu ibu (saudara kandung) dengan Syeikh Syihabuddin ada tiga orang dengan urutan:

1. Al-Alim al-Allamah Kadi Haji Abu Su’ud.
2. Al-‘Alim al-Allamah Kadi Haji Abu Na’im.
3. Sa’idah.
4. Al-Alim al-Allamah Khalifah Haji Syihabuddin (yang sedang dibicarakan).

Kadi Haji Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (nombor 1) mewarisi ilmu secara langsung dari ayahnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, selanjutnya menjadi Kadi yang pertama di Banjar dan beliau juga seorang pahlawan.
Perkahwinan yang pertama dengan Aminah memperoleh anak seorang ulama, Alimul Allamah Haji Muhammad Sa’id Jazuli. Sewaktu kembali menunaikan haji kahwin lagi di Kedah memperoleh seorang putera, bernama Syeikh Muhammad Mas’ud (dapat dirujuk dalam riwayat Syeikh Muhammad Thaiyib al-Banjari dan Tuan Husein Kedah Al-Banjari, Generasi Penerus Ulama Banjar, 16 Ogos 2004.
Ilmu
Alimul Allamah Kadi Haji Abu Na’im (no. 2), beliau juga memperoleh ilmu langsung dari ayahnya, beliau menjadi Kadi yang kedua di Banjar. Anak Kadi Haji Abu Na’im ialah Haji Muhammad Afif. Anak Haji Muhammad Afif ialah Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari, Mufti Kerajaan Inderagiri. Beliau inilah ulama yang pertama menyusun sejarah mereka yang diberi judul Syajarah al-Arsyadiyah.
Alimul Allamah Haji Syihabuddin (no. 4) juga mewarisi ilmu dari ayahnya. Syeikh Syihabuddin adalah seorang Khalifah Mufti dan Kadi. Beliau menurunkan beberapa orang ulama di antaranya Alimul Allamah Mufti Haji Abdul Jalil dan Alimul Allamah Haji As’ad Fakhruddin.
Tahun 1258 H/1842, Raja-raja Riau di Pulau Penyengat Indera Sakti minta kesediaannya menjadi guru di Kerajaan Riau-Lingga. Raja Ali Haji dalam karangannya yang terkenal berjudul Tuhfatun Nafis telah menyebut peranan ulama Banjar di kerajaan Riau. Di antaranya Haji Hamim yang diangkat Engku Haji Abdullah sebagai wakilnya di negeri Lingga.
Raja Ali Haji menulis: “Al-Kisah maka tersebutlah perkataan saudara Yang Di Pertuan Muda Raja Abdur Rahman itu, iaitu Raja Haji Abdullah yang dalam negeri Makkatul Musyarrafah itu. Maka apabila sampai ia setahun di dalam negeri Makkatul Musyarrafah itu, maka ia pun turunlah dari Mekah itu ke Jeddah.
“Dan dari Jeddah selalu balik ke bawah angin serta ada ia membawa satu orang alim namanya Syeikh Ahmad Jabarti dan seorang lagi orang Banjar anak Syeikh Muhammad Arsyad Banjar yang masyhur dengan alim besar di bawah angin yang mengarang beberapa kitab fikah dan lainnya. Maka adalah nama anaknya Tuan Syihabuddin.”
Petikan kalimat yang tersebut sangat banyak yang perlu dibahas, tetapi yang saya bahas sekarang hanyalah satu istilah ‘alim besar’, yang bererti seseorang itu alim mempunyai banyak bidang ilmu.
Karya
Tuhfah an-Nafis karya Raja Ali Haji yang asli dalam bentuk manuskrip dan cetakan adalah tulisan Melayu/Jawi, maka transliterasi saya kepada Rumi ialah ‘alim besar’. Ini adalah bertentangan dengan transliterasi Viginia Matheson Hooker, ditulisnya ‘ilmu besar’ pada tempat ‘alim besar’ (Lihat Tuhfat Al-Nafis, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, hlm. 600). Ahmad Basuni menulis dalam bukunya Djiwa Yang Besar, “H. Abul Muhd. Arsyad (bin Abdullah al-Banjari), seorang yang dalam ilmunya pernah menjadi Mufti, terkenal pula sebagai seorang pahlawan yang sukar dicari tandingannya.” (Djiwa Yang Besar, hlm. 59).
Yusuf Khalidi dalam bukunya Ulama Besar Kalimantan, menyebut bahawa Syeikh Syihabuddin diangkat sebagai Khalifah, iaitu menjawat jawatan Mufti dan Kadi. Bahawa beliau memperoleh 11 anak, namun yang dicantumkan Yusuf Khalidi dalam bukunya yang tersebut hanya tiga orang saja iaitu Al-Alim al-Allamah Mufti Abdul Jalil, Al-Alim al-Allamah Haji As’ad Fakhruddin dan Aminah. Anak beliau yang pertama Al-Alim al-Allamah Mufti Abdul Jalil (No. 1) memperoleh anak bernama Zakaria pernah tinggal di Johor kerana menyebarkan agama Islam.
Zakaria bin Mufti Abdul Jalil bin Syeikh Syihabuddin al-Banjari kahwin di Mersing, memperoleh 13 anak. Syeikh Utsman bin Syihabuddin al-Funtiani/al-Banjari yang menulis beberapa kitab mungkin adalah putera Syeikh Syihabuddin yang diriwayatkan ini.
Tiada data jelas mengenai perkara tersebut, tetapi beberapa orang tua-tua di Pontianak, Kalimantan Barat menceritakan bahawa Syeikh Utsman adalah anak Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan isterinya yang berasal dari Karangan, Mempawah Hulu, Kalimantan Barat.
Hanya sebuah karya Syeikh Syihabuddin yang diketahui, itu pun adalah merupakan imlak gurunya bernama Allamah as-Saiyid asy-Syarif Ahmad al-Marzuqi (1205 H/1790 M-1262 H/1845). Mengenai ini dapat diketahui kenyataan dari gurunya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, katanya, “Dan (bahawasa)nya telah selesailah daripada menjamakkan (mengumpulkan) dia dan kitabahnya (menulisnya) dengan imlak muallifnya di Mekah atas tangan yang menyurat imlaknya itu, (iaitu) Syeikh Muhammad Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad pada waktu zuhur, Selasa bulan Zulhijjah, tahun 1158 (hijrah).”
Setelah Syeikh Syihabuddin menulis imlak dari Saiyid Ahmad al-Marzuqi itu, lalu diserahkannya kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani untuk penelitian dan diperbaiki jika terdapat kesilapan. Setelah diperiksa Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani lalu diserahkan kembali kepada Saiyid Ahmad al-Marzuqi.
Saiyid Ahmad al-Marzuqi memerintahkan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, supaya memberi judul kitab itu sekali gus supaya diterjemahkannya ke bahasa Melayu. Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani menamakan kitab itu Tahshilu Nailil Maram Syarhu ‘Aqidatil Awam dan judul yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu ialah Bahjatus Saniyah fi ‘Aqaidis Saniyah.
Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani mengakhiri terjemahannya, katanya, “Dan telah selesai fakir mentaswid (menulis) akan manzhum (yang dinazamkan) matannya dan syarahnya dengan bahasa Jawi, (oleh) Daud bin Abdullah Fathani, pada hari …nama hari tidak tertulis dalam semua cetakan), bulan Safar, waktu asar di Mekah al-Mukarramah.”
Syeikh Abdur Rahman Shiddiq menyebut bahawa zuriat Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang berpangkat Mufti ada 10 orang dan yang berpangkat Kadi juga 10 orang. Antara yang menjadi Mufti termasuk Syeikh Syihabuddin al-Banjari.
Senarai lengkap
Senarai lengkap adalah seperti berikut, 1. Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 2. Haji Ahmad bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 3. Haji Muhammad As’ad bin Utsman. Beliau adalah Mufti yang mula-mula di Kerajaan Banjar. 4. Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As’ad.
5. Haji Syihabuddin.
6. Haji Muhammad Khalid bin Hasanuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
7. Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud.
8. Haji Muhammad Husein bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
9. Haji Jamaluddin bin Haji Abdul Hamid. 
10. Syeikh Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Dari no. 1 sampai no. 5 pada zaman pemerintahan Sultan Banjar. Sedang yang no. 6 sampai no. 10 pada zaman penjajah Belanda. Dari maklumat yang lain ulama-ulama keluarga tersebut yang menjadi Mufti ialah:

1. Haji Muhammad Husein bin Mufti Haji Jamaluddin. 
2. Haji Abdul Jalil bin Mufti Haji Syihabuddin. 
3. Haji Muhammad Yunan bin Mufti Haji Muhammad Amin.
 4. Haji Sa’id bin Haji Abdur Rahman. 
5. Haji Mukhtar bin Kadi Haji Hasan.

Keluarga yang tersebut yang pernah menyandang pangkat Kadi pula ialah: 
1. Kadi Abu Su’ud bin Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari. 
2. Kadi Abu Naim bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
3. Haji Mahmud bin Haji Muhammad Yasin. 
4. Haji Muhammad Amin bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
5. Haji Muhammad Ali al-Junaidi bin Kadi Haji Muhd. Amin. 
6. Haji Muhammad Sa’id al-Jazuli bin Kadi Haji Su’ud. 
7. Haji Muhammad Amin bin Kadhi Haji Mahmud. 
8. Haji Abdus Shamad bin Mufti Haji Jamaluddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. 
9. Haji Muhammad Jafri bin Kadi Haji Abdus Shamad. 
10. Kadi Haji Bajuri. 
11. Haji Muhammad As’ad bin Mufti Haji Muhammad Nur bin Kadi Haji Mahmud. 
12. Haji Ibrahim bin Mufti Haji Jamaluddin. 
13. Haji Abu Talhah bin Kadi Abdus Shamad. 
14. Haji Muhammad Thaiyib bin Haji Muhammad Qasim. 
15. Haji Muhammad bin Haji Muhammad Qasim. 
16. Haji Zainal bin Lebai Darun. 
17. Haji Abdur Rahman bin Kadi Haji Muhammad Sa’id. 
18. Haji Qasim bin Mu’min. 
19. Haji Muhammad Sa’id bin Mu’min. 
20. Haji Muhammad Arsyad bin Kadi Haji Abdur Rahman. 
21. Haji Hasan bin Mufti Haji Muhammad Sa’id. 
22. Haji Abdur Rauf. 
23. Haji Abdul Jalil bin Kadi Haji Muhammad Arsyad. 
24. Haji Ahmad bin Abu Naim. 
25. Haji Muhammad Arsyad bin Kadi Haji Abdur Rauf.
Dari no. 1 sampai no. 3 menjadi Kadi pada zaman pemerintahan Sultan Banjar